Aku menjelma menjadi seorang gadis kecil yang sedang menikmati makan malam bersama keluarga yang tak kukenali. Di sebelahku ada sosok anak laki-laki yang menyebutku sebagai adiknya. Namun ia bukan Elios, dan di depanku ada seorang wanita cantik menyebut dirinya bunda, namun ia sama sekali tidak mirip dengan ibuku yang sekarang. Di sebelah wanita itu duduklah seorang pria dengan tatapan yang menyeramkan sejak tadi hanya terdiam, kemungkinan pria itu adalah kepala keluarga di sini. Namun pemandangan ini tidak asing bagiku. Seperti aku pernah merasakan kejadian seperti ini, semua tampak nyata seperti déjà vu.
Tidak ada percakapan di sana, semua sibuk dengan makanan masing-masing. Tiba-tiba terdengarlah suara ketukan pintu, sepertinya ada tamu yang datang ke rumah ini.
"Ka, bantu adikmu mengisi air minum di gelasnya itu, dia kesusahan nanti malah airnya tumpah. Bunda mau buka pintu dulu ya, sepertinya ada tamu," ucap wanita itu menyuruh anak laki-laki di sebelahku.
"Tak usah kau buka! Hey bodoh, apa kau tak mendengarku?" Pria di sebelah wanita tadi berteriak, namun terlambat wanita itu sudah berjalan ke arah pintu depan.
"Kau tenang saja Selene, kau selalu saja takut jika Ayah berteriak. Ayah tak apa, jangan takut," ucap anak laki-laki itu kepadaku sambil tersenyum menenangkanku. Ia telah melakukan perintah wanita tadi untuk menuangkan air minum untukku. Wajahku memucat mendengar teriakan pria tadi, aku menunduk lesu ketakutan. Mengapa aku seperti ini?
Suara gaduh berasal dari ruang tamu, sepertinya si tamu tidak bersahabat dengan si tuan rumah. Aku berlari mengintip dan disusul anak laki-laki tadi.
"Beraninya kau datang kerumahku! Dasar kau wanita tak punya harga diri!" Bunda berteriak kepada si tamu.
Plakk.
Tamparan keras mengenai pipi bunda. Aku merasa panas di pipiku seperti aku merasakan apa yang bunda rasakan. Bunda tak membalas si tamu yang menamparnya tadi. Ia masih mencoba mengendalikan diri di depan anak-anaknya. Kakakku segera memelukku yang makin ketakutan.
"Tenang Selene, kakak di sini," ucapnya menenangkanku.
Pria tadi mendekat kepada dua orang wanita yang sedang bertengkar itu, alih-alih melerai dan membela bunda, pria itu malah membela si tamu tadi.
"Sudah kubilang jangan kau buka pintunya bodoh! Jika kau buka, kau akan tau siapa yang aku pilih. Jelas saja aku memilih Hera daripada kau Hestia." Pria itu membentak bunda dan mendorongnya. Ia hendak memukul bunda namun kakakku segera berlari dan menghalanginya.
"Jangan pukul Bunda lagi Ayah, cukup! Kau bahkan melakukannya di depan anak-anakmu. Lihat, Selene saja ketakutan melihatmu seperti seorang monster. Kau bukan Ayah kami yang baik seperti dulu," teriak kakakku menghalangi ayah.
"Dasar kalian tak berguna! Pergi kalian dari rumahku!"
Bunda hanya menangis, ia menunduk menahan emosinya. Sedangkan si tamu tadi yang ayah sebut bernama Hera itu tersenyum bahagia. Aku beringsut ke lantai dan menangis. Lututku melemas. Apa yang sedang kulihat tadi?
Bunda meninggalkan ruang tamu dan mendekatiku. Aku memeluknya dan hendak ikut bersamanya, namun ayah kembali berteriak.
"Jangan sentuh Selene, ia milikku. Bawa saja kakakknya si Altair itu. Anak laki-aki yang tidak berguna."
Bunda melepas pelukanku dan bangkit menatap ayah, "Sungguh kau yang tidaklah berguna Atreo! Kau adalah seorang bajingan!"
Bunda mendekati Altair dan menggandengnya pergi. Mereka pergi meninggalkanku yang masih ketakutan. Aku menangis memanggil bunda dan kakakku. Ayah semakin marah dan membanting sebuah vas bunga di dekatku, pecahan vas bunga itu menggores tanganku dan membuatnya mengeluarkan darah segar, aku merasa kesakitan dan mencoba menutupi luka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Praeteritum aut Futurum?
ChickLitHighest rank #106 in ChickLit (16092017) Aku berada diantara pilihan mengingat masa lalu atau menjalani kehidupanku yang sekarang untuk menyiapkan masa depanku, jadi menurutmu pilihan mana yang harus ku pilih? Masa lalu atau Masa depan? (Revisi seti...