XVII

176 42 126
                                    

"Apa kau akan menikah dengan Elios? Sungguhkah?" tanyaku penasaran. Dokter muda itu menatapku heran sambil menahan tawanya.

"Jadi kau masih mengira Elios adalah kakakmu?" Aku mengangguk pelan sedangkan dokter itu malah menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lalu siapa jika bukan Elios? Apa benar Dokter Darrell itu kakakku?"

Kini tinggal dokter itu terdiam, ia menatapku lekat-lekat, "Apa kau mengingat sesuatu Selene, sejak kapan?" Ia menarik kursi dan mendudukinya.

"Aku sudah agak lama menduganya, hanya saja aku selalu memendamnya sendiri. Aku ingin megetahui mengapa Dokter Darrell malah mengatakan bahwa aku adiknya Elios, bukan adiknya."

"Ada sesuatu Selene, ini untuk kebaikanmu."

"Baiklah, aku mengerti." Aku tersenyum tipis dan memalingkan muka menyembunyikan rasa kecewaku. Ya, aku mengerti, aku bahkan mencoba untuk selalu mengerti.

"Siapa yang membawaku ke sini Dokter?"

"Gadis yang berada di luar itu yang membawamu, tak lama Elios langsung datang mencarimu. Dia kalang kabut seperti orang kesetanan saat tahu kepalamu berlumuran darah tadi."

"Kurasa ia berlebihan."

"Itu karena ia menyayangimu Selene. Istirahatlah kau, apa aku boleh memberitahu Darrell jika kau sudah sadar?"

"Beritahu dia saja, jangan yang lain. Jangan bilang apapun kepada Elios," ucapku lirih layaknya berbisik.

"Baiklah-baiklah aku akan menuruti kemauanmu. Aku akan pergi, dan kau tidurlah mereka akan mengiramu masih pingsan."

"Tunggu dulu Dokter, siapa namamu? Dan jika kau calon istrinya Dokter Darrell, di mana ia sekarang?'

"Ia sedang cuti Selene dan aku yang menggantikannya. Namaku Gea Jovanka Odelia. Panggil saja Gea. Ingat-ingat saja nama itu siapa tahu kenangan tentang kau dan aku akan muncul secara tiba-tiba."

"Memangnya kau dan aku dulu sedekat apa?"

"Kau ingat-ingat saja Selene, sebenarnya aku sangat marah saat tahu kau amnesia dan melupakanku, dulu kau bilang apapun yang terjadi kau tak akan pernah melupakanku."

"Memangnya kau pikir amnesia bisa kau setting sendiri mana yang ingin kau lupakan mana yang tidak, sudahlah dokter aku ingin istirahat."

"Kau mengusirku? Baiklah aku akan pergi, panggil saja aku di ruanganku jika ada sesuatu." Dokter Gea merapikan peralatannya dan beranjak meninggalkanku, aku hanya tersenyum melepas kepergiannya.

Masih kudengar suara Elios dan Ica yang sedang adu mulut di luar kamarku, kuabaikan suara suara itu dan kubenamkan fikiranku mengingat bayangan-bayangan yang hadir seperti mimpi buruk yang telah aku alami. Mungkin kenangan itu sempat terlupakan, namun saat aku mengingatnya rasa sakit masih saja aku rasa, seperti luka lama yang kembali tergores. Harusnya aku bersyukur telah melupakan masa laluku, bukan malah mengingatnya. Bila saja aku tahu akan seperti ini, aku lebih memilih melanjutkan hidup tanpa mengingat masa lalu itu.

Kuhembuskan nafas pelan, kupejamkan mata perlahan dan bersiap untuk kembali mengingat bayangan-bayangan kenangan masa lalu yang bisa saja muncul tidak terduga.

**

Entah berapa lama aku terlelap, yang jelas kali ini aku bisa tertidur dengan pulas tanpa mimpi buruk atau apapun itu, saat aku hendak membuka mata rupanya ada Elios yang sedang menungguku. Dia duduk di samping ranjang dan menggenggam erat tanganku.

Aku mengerjapkan-ngerjapkan mataku dan aku terkejut melihat Elios menagis, ia menunduk sambil terisak, air mata mengalir dipipinya. Mengapa ia menangis?

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang