XXVII

152 22 43
                                    

Matahari menyingsing di ufuk timur saat aku menceritakan semua kejadian yang terjadi di dalam mimpi burukku kepada Bunda, namun betapa terkejutnya aku menerima respon darinya, bunda hanya tersenyum dan mengusap lembut rambutku.

"Kau ini, Bunda kira ada apa. Rupanya hanya mimpi buruk seperti itu. Memang sebentar lagi akan dilaksanakan pernikahan, tapi bukan untuk Elios dan Ica. Mungkin kau hanya kebetulan sedang memikirkan Elios dan masa lalunya sehingga kau mimpi buruk begitu."

Memang benar, kemarin aku sempat melihat foto Elios dan Ica di ponsel Ica ketika aku meminjam ponsel Ica untuk menelepon Darrell, dia masih menyimpan foto kenangannya saat masih bersama Elios. Lain hal dengan Elios yang telah menghapus semua foto Ica di poselnya, meski sebenarnya Elios masih mengenang Ica dalam buku yang ia berikan kepadaku.

"Sudah cepat mandi sana, bukankah hari ini kau harus pergi?"

"Ah iya. Aku lupa Bun, hari ini aku harus mengantar undangan pernikahan Darrell dan Gea ke rumah Ayah."

"Kau yakin akan mengantarkannya? Apa Ayahmu akan menerimanya dan tidak menanyakan mengapa bukan Darrell saja yang mengantar undangan itu kepadanya?"

"Tentu, aku akan mengantarnya dan membujuk Ayah agar datang. Aku tahu hubungan Darrell dan Ayah belum juga membaik jadi biar aku saja yang mengantarkannya Bun."

"Ya sudah, hati-hati ya. Siapa yang akan mengantarmu pergi ke sana?" tanya bunda lalu bangkit dari duduknya hendak meninggalkanku.

"Akan kuminta Elios menjemputku nanti, lagi pula aku akan menceritakan mimpiku semalam kepadanya." Jawabku sekenanya.

Mendengar jawabanku Bunda hanya mengangguk kemudian beranjak dari kamarku. Aku hanya terdiam melihat kepergian bunda hingga sepersekian detik berikutnya aku baru menyadari bahwa ada suatu hal yang aku lupakan.

Kutepuk kepalaku pelan, "Aish, sepertinya aku juga belum memberitahu Elios untuk mengantarku pergi hari ini. Mengapa aku pelupa sekali."

Dengan sigap kucari ponselku dan segera menghubungi Elios, semoga saja dia tidak punya rencana untuk pergi hari ini. Setelah kutemukan benda itu aku langsung mengirimkan pesan kepada Elios. Satu menit, dua menit hingga menit ke lima pesanku tak kunjung dibalas oleh Elios. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Sekiranya apa yang sedang dilakukannya sepagi ini hingga mengabaikanku?

Dengan dipenuhi rasa penasaran akhirnya kuputuskan untuk menelponnya. Namun hasilnya sama saja, tak ada jawaban. Pesan-pesan yang kukirimkan kepadanya pun belum ada balasan yang sampai di ponselku. Pesan terakhir yang ia kirimkan hanya menyuruhku untuk tidur semalam.

Hingga panggilan yang ketiga akhirnya Elios mengangkat teleponku, alih-alih mendengar suara Elios yang terdengar di seberang adalah suara seorang wanita.

"Ada apa Selene? Ini Ibu, Elios sedang mencuci mobilnya dan ponselnya ia tinggalkan di meja ruang tamu sehingga ia tidak mendengar bahwa ada telepon masuk."

"Ah begitu rupanya, tidak ada apa-apa Bu, apa Elios akan pergi hari ini?" tanyaku gusar. Jika nanti Elios sudah ada acara sendiri, dengan siapa aku akan pergi?

"Ibu tidak tahu Selene, ia tak mengatakan apapun kepada Ibu, memangnya ada apa? Apa kau ingin berbicara dengan Elios?"

"Ah iya Bu, aku ingin berbica dengannya sebentar."

"Sebentar ya Ibu panggil Elios dulu."

Kudengar Ibu berteriak memanggil nama Elios di seberang. Ah, aku merindukan suasana di rumah itu sebenarnya. Mungkin kapan-kapan aku akan meminta ijin kepada bunda agar diperolehkan menginap di rumah Elios.

"Selene, ada apa meneleponku sepagi ini?"

"Mengapa kau tidak membaca pesan-pesan dariku?" tanyaku kesal.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang