XVIII

167 37 59
                                    

Malam ini hujan turun dengan sangat deras. Kilauan cahaya yang menyambar disertai suara guruh membuatku sulit untuk tidur. Badanku gemetaran setiap mendengar suara petir yang menggelegar. Kusembunyikan diri di bawah selimut dan memejamkan mata mencoba untuk terlelap namun hasilnya nihil. Petir sukses menerorku malam ini.

Ingin rasanya aku lari, bersembunyi di kamar Elios dan meminta untuk diperbolehkan tidur di sampingnya. Namun ucapan Ica tempo hari di rumah sakit masih saja terngiang di telingaku. Aku masih saja memikirkan bagaimana jika aku yang berada di posisinya.

Hari itu aku mendengar ia menangis setelah melihat Elios menciumku. Ia mengatakan seluruh perasaan yang ada di dalam hatinya kepadaku meski mengira aku tak mendengarkannya. Bagaimana aku tidak ikut merasa sedih? Aku bahkan mengetahui semua yang terjadi di ruanganku hari itu, dari mulai Elios yang berbicara hingga Ica yang menangis tak ada hentinya.

Saat itu kuputuskan untuk berhenti berpura-pura tidur dan mengusap lembut rambutnya bermaksud menenangkan, namun yang terjadi malah ia menangis sejadi-jadinya, pundaknya naik turun suaranya parau. Menyadari sentuhan tanganku di pucuk kepalanya sontak Ica mendongak. Ia terkejut melihat aku yang telah terbangun. Kucoba duduk dan bersender di tepian ranjang dan ia langsung memelukku dengan sangat erat. Ia tak membuka suara selama beberapa menit. Aku membiarkan ia menumpahkan semua air matanya agar bisa membuatnya tenang. Hingga beberapa menit kemudian akhirnya ia bertanya kepadaku.

"Apa kau sudah tebangun dari tadi Selene? Apa kau mendengar semua yang telah aku katakan?"

"Tidak, aku bahkan baru terbangun dan melihatmu menangis seperti itu. Memangnya apa yang kau tangisi? Apa kau pikir aku sudah mati?"

Ica melepas pelukannya dan menatap wajahku. "Tapi mengapa kau ikut menangis?" Ia mengusap air mata yang berlinang di pipinya. Aku ikut menghapus air mataku. Pelupuk mataku tadi tak kuat menahan air mata yang memberontak untuk keluar mengakibatkan aku ikut menangis bersama Ica, namun aku mencoba menyembunyikan tangisanku darinya.

"Aku menangis karena kau menangis, aku tak kuat jika ada seseorang yang menangis di hadapanku. Jika kau tak ingin aku menangis maka berhentilah, jangan menangis lagi di hadapanku."

Maaf Ica aku berbohong, aku tak mahir berbohong namun kali ini aku berbohong kepadamu. Aku tak ingin kau lebih merasa sakit saat tahu aku mendengar semua yang kalian ucapkan.

"Baiklah aku tak akan menangis lagi." Ica tersenyum dan kembali memelukku. "Tolong jaga Elios untukku Selene, aku sangat menyayanginya."

Hatiku perih serasa ditusuk ribuan jarum. Bibirku kelu tak bisa menjawab perkataan Ica dan dengan lancangnya air mataku kembali menetes, aku segera menghapusnya sebelum Ica menyadarinya.

Kejadian itu sudah berlalu namun aku masih mengingatnya dengan jelas. Ica selalu menemaniku selama aku dirawat di rumah sakit. Aku berpura-pura tidak tahu apa-apa agar tidak terjadi kecanggungan antara Ica dan Elios, tapi mereka tetap saja menjaga jarak. Dan selama berada di rumah sakit sebenarnya aku sudah mendapatkan beberapa ingatanku kembali namun aku tak menceritakannya kepada siapapun termasuk dokter Gea, pengganti dokter Darrell yang tengah cuti. Dokter Gea juga merupakan calon istri dokter Darrell, tak salah jika ia memperkenalkan dirinya sebagai calon kakak iparku.

Aku masih menganggap Elios sebagai kakakku, memang benar karena ia yang selalu ada untukku saat ini dan selalu melindungiku. Namun sepertinya perasaan aneh yang semula timbul lalu hilang kini semakin jelas. Dulu jika aku melihat tatapan mata Elios aku merasa ada perasaan aneh yang memenuhi hatiku namun segera menghilang saat aku meyakinkan diri bahwa ia adalah kakakku, kini setelah aku mendapatkan ingatanku kembali dan mengetahui bahwa kakakku yang sebenarnya adalah dokter Darrell perasaan itu tak bisa aku hilangkan. Aku belum sanggup mengatakan bahwa aku jatuh cinta kepada Elios, pikiranku masih terpaku bagaimana jika aku berada di posisi Ica, menjadi seorang gadis yang merelakan sesorang yang ia cintai mencintai sahabatnya sendiri.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang