XXVIII

277 23 37
                                    

Aku pernah membaca di sebuah buku bahwa jika kita kebetulan berhadapan dengan ular hal yang harus kita lakukan adalah bersikap tenang dan jangan panik. Sebab, sebenarnya ular itu rabun. Hewan itu hanya mengandalkan lidah untuk mendeteksi getaran yang ada di sekitarnya.

Namun sayangnya yang kuhadapi sekarang bukanlah sembarang ular. Barangkali yang kutemui sekarang adalah ratu dari segala ular. Mungkin memang benar dugaan selama ini bahwa ibu tiriku itu adalah jelmaan Medusa. Ah entahlah, yang jelas harusnya hari ini aku langsung bertemu dengan Ayah Atreo bukannya malah harus berhadapan dengan kedua wanita yang tak pernah ingin kutemui ini.

"Eh ada tamu rupanya." Tante Hera menghampiriku yang baru beberapa langkah mendekati pintu rumah dan Alethea pun berjalan mengikuti ibunya.

"Tamu yang tak diundang sepertinya. Maaf ya di sini tidak menerima tamu yang datang untuk meminta sumbangan," ucap Alethea sambil menatap tajam ke arahku.

Lihatlah, ini bahkan masih pagi mengapa mereka harus menguji kesabaranku? Kulirik Elios di sampingku. Ia menggenggam tanganku mencoba menenangkan.

"Aku hanya ingin bertemu Ayah, lagipula Ayah selalu membujukku untuk pulang ke rumah ini mengapa saat aku berkunjung malah kalian seolah-olah tak menerima kedatanganku?"

Alethea tetap maju meninggalkan ibunya di belakang dan berhenti tepat di hadapanku.

"Ck, pulang kau bilang? Ini rumahku. Aku lah anaknya Ayah bukannya kau. Pergi sajalah kau tak usah kembali. Lagi pula kau sudah lama menghilang mengapa harus datang lagi?" kata Alethea sambil mengibaskan tangannya menyuruhku pergi. Ia sempat mendorongku namun berkat tanganku yang masih di genggam Elios cukup menahanku sehingga tak sampai jatuh tersungkur.

Aku hanya diam dan kembali melirik ke arah Elios dan hasilnya sama. Ia menyuruhku untuk tetap tenang. Sebenarnya Tante Hera tak banyak bicara namun pandangannya tetap mentap tajam ke arahku sedangkan anaknya masih sibuk mengucapkan kata-kata tak berguna yang sebenarnya tak terlalu kudengarkan.

Meski tak merasa takut dengan kedua wanita ini aku tak balik menatap mata Tante Hera dan lebih memilih mengalihkan pandanganku untuk mencari keberadaan Ayah, sudah kubilang ibu tiriku ini mungkin saja jelmaan Medusa dan jika aku menatap matanya bisa saja aku akan berubah menjadi patung batu. Ah jangan sampai terjadi seperti itu, kasihanilah aku yang belum menikah. Bagaimana aku bisa menikah dengan Elios jika aku berubah menjadi batu?

**

Pandanganku menyisir ke segala penjuru arah. Mengapa ayah tak kunjung muncul meski ada keributan di depan rumahnya?

"Pergi saja kau, jangan pernah kembali ke rumah ini. Pergi kau kubilang atau kau lebih memilih semua orang yang berada di dekatmu terluka karena keberadaanmu?" Aku tak menjawab perkataan Alethea dan masih tetap memilih diam.

Menyadari sejak tadi diabaikan olehku akhirnya Alethea kesal dan hendak menamparku namun untungnya tadi aku tak datang sendirian ke tempat ini. Dengan sigap Elios menahan tangan Alethea sebelum berhasil mengenaiku. Ah, Elios memang The Best Guardian Angel.

"Sudah cukup kau sakiti hatinya dengan ucapanmu, mengapa harus kau tambahi dengan menyakiti tubuhnya?" ucap Elios dengan nada tegas kepada Alethea.

Dengan kasar Alethea melepaskan tangannya dari genggaman Elios. Melihat itu Tante Hera langsung menarik lengan Alethea dan menyuruh anak gadisnya itu untuk diam dan tetap berada di belakangnya.

"Ayahmu tak ada di rumah Selene, percuma saja kau datang hari ini. Kau tak akan bertemu dengan Ayah Atreomu itu."

"Tapi Ayah bilang-"

Tin... tin... tin...

Ucapanku terpotong dengan adanya suara klakson mobil ayah yang terdengar nyaring. Sepertinya Dewi Fortuna sedang memihakku hari ini. Akhirnya aku bisa terbebas dari kedua wanita ular.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang