V

280 89 146
                                    

Aku menemukannya.

Benar Tuhan, aku menemukannya.

Seorang gadis bak bidadari tiba-tiba hadir tenangkan jiwa.

Aku menemukannya.

Benar Tuhan, aku menemukannya.

Seorang gadis yang cantik jelita laksana jelmaan dewi Aphrodite dengan kelembutan dewi Hestia.

Aku menemukannya.

Benar Tuhan, aku menemukannya.

Seorang yang amat kucinta.

Namun mengapa Tuhan, aku hanya bisa melihatnya?

Namun mengapa aku hanya bisa menjaganya, tanpa memilikinya.

Bolehkah Tuhan? Apa boleh bila kuminta ia saja sebagai jawaban dari segala doa?

Mungkinkah Tuhan, mungkinkah kami bersama?

Di kehidupan apa saja Tuhan, jika tak bisa bersatu di dunia pertemukan kami kembali di surga.

"Te amo." (s.a)

Kepalaku mulai terasa pusing setelah membuka lembaran demi lembaran buku Elios dengan puisi-puisi panjang disertai bahasa yang sulit kupahami. Namun Elios belum juga terbangun dari tidurnya. Kututup buku itu dan kuletakan kembali ke tempat asalnya. Entah mengapa rasa penasaran tiba-tiba datang menghampiriku. Kuturut naik ke atas ranjang Elios.

Kuusap lembut pipinya sambil menyebut namanya namun ia tak juga membuka mata, kudekatkan kupingku ke dadanya bermaksud memeriksa apakah ia baik-baik saja. Namun yang kutemukan adalah jantungnya berdetak sangat kencang. Karena panik, kugoncang-goncangkan saja tubuhnya agar ia terbangun. Benar saja, ia mulai membuka matanya dan melihatku yang masih menempelkan kepala di dadanya.

"Apa yang sedang kau lakukan? Selalu saja mengganggu tidurku."

Aku hanya tersenyum lalu bangkit untuk duduk di sampingnya.

"Te amo."

"Apa yang kau ucapkan barusan? Aku tak mendengarnya." Elios mencoba bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar.

"Te amo, Aku bilang Te amo tadi. Te amo itu apa?" Aku menoleh ke arah Elios namun ia malah membuang muka. "Hey, apa yang terjadi kepadamu? Mengapa mukamu berubah merah seperti tomat? Apa kau sakit lagi?" Aku memeriksa jidatnya dengan tanganku, namun suhu tubuhnya tak tergolong panas, tapi mengapa wajahnya memerah?

Ia hanya tersipu malu lalu menyentil ujung hidungku. Ia menatapku dan mengusap lembut rambutku.

"Mengapa kau tidur di atas dadaku?"

"Aku tak tidur, aku hanya memeriksamu. Mengapa jantungmu berdetak kencang? Dokter Darrell bilang kau hanya perlu istirahat dan tak ada yang bermasalah dengan jantungmu namun mengapa detaknya lebih kencang dari detak jantungku?" Aku menatapnya dengan tatapan penasaran namun Elios hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi ucapanku.

"Lalu, mengapa kau membangunkanku?"

"Aku lapar, apa kau tak lapar? Aku bahkan melewatkan makan siang."

Memang benar, seharian ini aku hanya makan bubur yang dibawa dokter Darell waktu pagi dan memakan cemilan yang aku temukan di atas meja Elios.

Sontak Elios langsung memeriksa ponselnya, kulirik jam dinding menunjukan pukul enam sore.

"Astaga Selene, maaf kau pasti kelaparan. Mengapa kau tak membangunkanku sedari tadi?"

"Dokter Darell bilang kau perlu istirahat dan aku berjanji akan menjagamu, jadi kubiarkan saja kau tidur lagipula kau susah sekali dibangunkan."

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang