III

469 128 197
                                    

Hal yang paling menyakitkan adalah kehilangan seluruh ingatanku, sebuah kenyataan bahwa aku melupakan diriku sendiri. Tak ada satupun memori yang tersisa, entah itu bahagia ataupun nestapa. Aku tak ingin dilupakan atau melupakan. Jika aku boleh meminta, kumohon kembalikan saja semua yang kupunya.

Hari ini adalah jadwalku untuk menemui dokter Darrell, kebetulan ini hari Minggu sehingga Elios bisa mengantarku untuk pergi ke sana. Ia telah bersemangat, sejak pagi ia bahkan membantuku untuk bersiap. Ia melarangku berjalan menggunakan tongkat hari ini, ia menyuruhku duduk di kursi roda agar dia lebih gampang menjagaku katanya. Ia membopong badanku dan menempatkanku di jok depan mobilnya.

"Kau tunggu di sini dulu, aku akan mengambil sesuatu di dalam, Ibu tak bisa ikut mengantarmu karena harus menemui seseorang di butiknya," jelasnya sambil merapikan kursi rodaku lalu masuk ke dalam rumah.

Aku hanya mengangguk menurutinya.

Dokter Darrell adalah dokter yang harus rutin kutemui. Ya, kakiku yang tak bisa berjalan normal dan ingatanku yang hilang disebabkan oleh kecelakaan yang aku alami enam bulan lalu. Aku tak dapat mengingat apapun, dokter bilang aku mengalami kerusakan otak yang membuatku kehilangan kemampuan baca tulisku juga, jadi aku harus mempelajarinya kembali dan mencoba menulis semua hal yang bisa aku ingat.

Saat pertama kali membuka mata setelah berhari hari terbaring di rumah sakit, wajah pertama yang aku lihat adalah Elios. Ia memperkenalkan dirinya sebagai kakakku, dan aku melihat seorang wanita paruh baya yang tersenyum ramah menyambutku, kukira itu pasti ibuku. Aku tak mengenali siapa diriku, bahkan jika tak ada gelang yang bertuliskan nama Selene Anandari yang melingkar di pergelangan tanganku, aku tak akan tahu namaku.

Elios masuk ke dalam mobil memasang sabuk pengamannya dan memasangkan sabuk pengaman untukku.

"Kau ini, kenapa selalu saja ceroboh, bisa tidak kau memasangnya sendiri?"

"Aku lupa, yang aku ingat aku harus duduk di sini dan menunggumu, itu saja," jawabku polos.

Saat ia menyalakan mesin aku mencoba menghidupkan musik yang bisa aku dengar daripada mendengar ia yang terus saja menceramahiku.

Pemandangan di luar jendela mobil lebih menarik daripada ekspresi wajah Elios, terbawa suasana aku ikut menyanyikan sebuah lagu yang sedang terputar. Entah dalam bahasa apa lagu itu aku tak begitu memahaminya.

By and by
I'll miss you
and your laugh like a sunshine
Fading into shadow of tears
All around me is your light
With you
everything so shines
How come we'll leave all behind
Cause your love is falling
on my heart
And I'm falling for you
Falling with broken wings again

Saat aku sedang asik bernyanyi Elios mengecilkan volume tape mobil, sontak aku menoleh ke arahnya.

"Apa kau terganggu? Suaraku terlalu jelek kah untuk bernyanyi?"

"Kau tahu itu bahasa apa tadi? Suaramu lumayan sebenarnya."

"Entah, aku hanya mengikuti lagu itu. Sepertinya dari buku cerita yang aku baca, aku tak menemukan bahasa seperti itu."

"Itu bahasa Inggris Selene, yang kau pelajari itu bahasa Indonesia. Kapan-kapan akan kuajarkan kepadamu bahasa itu."

"Baiklah, kita hampir sampai bukan?" ucapku sembari melihat jalanan sekitar.

"Iya sebentar lagi kita sampai ke tempat dokter Darrell, apa kau merindukannya? Dia masih muda dan pintar menurutku, apa kau tak tertarik kepadanya?" goda Elios sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Dasar kakak paling menyebalkan di dunia kau ini."

**

"Tulisanmu sudah cukup bagus Selene, kau makin Pandai sekarang." Dokter Darrell memujiku setelah memeriksa buku catatanku.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang