XIII

216 55 111
                                    

"Elios, ceritakan padaku tentang masa lalumu."

"Untuk apa? Tak ada yang menarik dari masa laluku, lagipula aku sudah bilang bahwa aku sudah melupakannya."

"Kau bilang kau ingin membantuku mengingat masa laluku, sebelum aku mengingatnya aku ingin tahu bagaimana kisah masa lalumu."

"Tentang apa? Sekolah? Pengalaman liburanku atau tentang apa?"

"Kau tadi meremehkanku gara–gara aku mengatakan kau akan jatuh cinta jika bertemu dengan temanku. Ceritakan masa lalumu tentang kisah cintamu Elios."

"Sungguh kau ini, jika bukan kau yang meminta aku tak akan menceritakan lagi tentang gadis itu." Kudengar Elios mendengus kesal lalu memalingkan wajah, cukup lama ia terdiam mungkin ia sedang memikirkan mulai dari mana ia akan bercerita tentang kisah cintanya.

Kami sedang berada di sebuah tempat untuk menikmati pemandangan malam tanpa gangguan Gavin dan Alethea. Kubaringkan tubuhku di atas kursi kayu yang cukup luas, entah namanya kursi atau apa yang jelas ia terbuat dari kayu tapi tanpa sandaran dan agak lebar, lebih mirip seperti meja. Elios berbaring di sampingku dan membiarkan tangannya menjadi bantal untuk kepalaku. Alih–alih mengajakku pulang, Elios malah mengajakku ke tempat ini. Tempat dimana aku bisa leluasa memandang langit malam penuh bintang bertaburan. Lagi pula aku ingin menenangkan diri setelah bertemu orang yang sangat membenciku. Memangnya apa yang aku lakukan di masa lalu hingga membuatnya membenciku seperti itu? Seperti seorang yang bertemu dengan musuh bebuyutan.

Aku menghela napas panjang dan memejamkan mataku sejenak, tiba–tiba aku teringat Elios belum juga membuka suara untuk bercerita. Kubuka mataku dan melihat ke arahnya, ia tidak tidur, masih memandang langit namun masih saja terdiam.

"Hey, ayo mulai ceritanya."

"Aku bingung harus mulai dari mana Selene," ucapnya dengan nada malas.

"Ceritakan saja saat pertama kali kau bertemu dengan Spica atau sebuah cerita tentang Spica, ups." Aku menutup mulutku karena tidak sengaja menyebut nama Spica di depan Elios, mendengarku menyebut nama itu Elios langsung menoleh ke arahku.

"Bagaimana kau tahu bahwa orang yang pernah aku cintai bernama Spica?" tanyanya penasaran.

"Ibu yang meneritakan kepadaku tentang Spica, namun aku tak begitu mendengarkannya karena aku sudah mengantuk waktu itu, jadi ceritakan kepadaku tentang Spica sekarang. Aku ingin tahu seperti apa wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta itu."

"Namanya Spica Andromeda, seorang gadis yang selalu membuatku terpesona ketika melihat senyum manisnya. Ia teman kelasku sewaktu SMA, dia gadis yang pintar, cantik dan baik hati. Namun ternyata sulit memang mencintai seseorang yang dicintai banyak orang."

"Maksudmu sainganmu banyak?"

"Hmmm, kurasa begitu. Ia dikejar banyak laki–laki waktu itu. Aku yang terbiasa melihatnya dari kejauhan hanya bisa mengaguminya. Tapi anehnya ia malah memilihku yang tidak pernah menunjukan perasaanku padanya."

"Namun sebenarnya kau menyukainya, kan?"

"Iya, namun aku tak terlalu percaya diri untuk menyatakan perasaanku. Malah ia yang menyatakan perasaannya terlebih dulu."

"Aish, kau ini payah sekali." Mendengar ucapanku itu Elios merasa tidak terima dan langsung menepuk kepalaku. Pelan memang namun sakit.

"Tau apa kau tentang cinta heh?"

"Aish, sakit tahu. Aku yakin aku pernah merasakan cinta dan saat aku mengingatnya akan kupamerkan kepadamu. Lalu apa yang terjadi hingga membuatmu berpisah dengan Spica?"

"Gavin. Gavin yang merebut Spica dariku."

Lagi–lagi Gavin. Sepertinya lelaki itu pembawa sial. Pantas saja ia hadir di mimpi burukku, sama sekali bukan mimpi indah.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang