XXII

164 35 122
                                    

"Elios ti--tidak sadarkan di--diri Selene." Kudengar ibu menarik napas di seberang. "Ada segerombolan preman memukulinya hingga babak belur. Dan juga, ia tertusuk dibagian perutnya." Hatiku seperti teriris mendengar kabar itu, dosa apa yang tengah Elios perbuat hingga ada seseorang yang tega menyakitinya?

"Ibu di mana sekarang?" tanyaku panik, aku tak bisa berpikir jernih. Yang ada dipikiranku hanya aku harus bertemu dengan Elios sesegera mungkin.

"Ibu di rumah sakit Selene."

"Rumah sakit mana Bu? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku histeris.

Tidak kudengar jawaban dari seberang. Yang kudengar hanya suara isak tangis ibu. Aku tak menghiraukannya, aku tak kuat mendengarkan suara tangis itu. Karena yang terjadi padaku sekarang pun sama halnya dengan ibu. Tangisku pecah. Beribu pertanyaan muncul di benakku. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menarik napas pelan, mencoba menginterupsi organ tubuhku sendiri agar lebih merasa tenang. Kulihat Tante Areta dan Gavin menatapku gusar. Kusembunyikan wajahku dengan menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupinya. Kubiarkan air mataku mengalir tak terbendung. Sakit kepalaku sebenarnya belum benar-benar hilang mengapa kini harus bertambah dengan sakit di dalam hatiku setelah mendengar kabar bahwa orang yang kucintai tengah terluka? Aku mendesah frustasi, kiranya apa yang harus kuperbuat?

Tante Areta mendekat kepadaku dan membawaku ke dalam pelukannya, aku menerima pelukan itu dan berbalik memeluknya, memang ini yang saat ini kubutuhkan. Aku membutuhkan sesorang yang masih berempati kepadaku. Setidaknya orang yang masih perduli dengan keadaanku.

"Dia akan baik-baik saja Selene, doakan saja agar Tuhan selalu menjaganya. Tenangkan dirimu dan cobalah berpikir lebih jernih. Tante yakin dia akan baik-baik saja," ucap Tante Areta mencoba menenangkanku. Diusapnya rambutku lembut dengan penuh kasih sayang hingga aku merasa bagaikan anak kecil yang tengah menangis dalam pelukan seorang bundanya.

Aku hanya terdiam tak bisa menjawab perkataan Tante Areta seolah mulutku terjahit dengan rapat. Tak ada satu suarapun yang keluar dari mulutku selain suara tangisan. Sedangkan pikiranku masih melalang buana memikirkan bagaimana keadaan Elios.

Gavin yang sedari tadi menatapku cemas segera mendekat kearahku. "Apa kau ingin menjenguknya? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit itu, tapi kumohon tenangkan dirimu Selene," tuturnya dengan nada cemas.

Kulepaskan pelukan Tante Areta dan menoleh ke arah Gavin, dari tatapan matanya aku bisa melihat bahwa ia bersungguh-sunggguh saat mengatakan ingin mengantarku. Kuusap air mata di pipiku dan mencoba menghentikan tangisku.

"Apa kau tahu di mana rumah sakit itu?"

"Tante Areta tadi berniat menelpon Dokter Gea bukan? Pasti Elios dan Ibunya berada di rumah sakit tempat Dokter Gea bekerja."

Aku mengangguk mencoba memahami perkataan Gavin, selang beberapa detik kemudian aku baru menyadari bahwa rumah sakit tempat dokter Gea bekerja adalah rumah sakit tempatku dirawat waktu itu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit meninggalkan ranjangku dan berjalan meraih tas kecilku. Tak lupa kumasukkan ponselku ke dalam tas kecil itu.

"Ayo kita pergi, tunggu apa lagi."

Gavin menggangguk patuh lalu meraih tanganku untuk digandengnya. Merasa tidak nyaman kulepaskan genggaman itu lalu berpamitan dengan Tante Areta, kupeluk wanita itu sekali lagi.

"Ada satu yang kau lupakan Selene," ucap Tante Areta sambil melepas pelukanku. Dengan segera Tante Areta mengambil jaketku dan mengulurkannya.

"Pakailah jaketmu Selene, jangan sampai kau ikut sakit karena tak menjaga kesehatanmu sendiri." Aku mengangguk lalu melangkah beriringan bersama Gavin meninggalkan Tante Areta.

Semoga saja Gavin berpikiran bahwa aku melepas genggaman tangannya karena harus berpamitan dengan Tante Areta, bukan karena menghindarinya.

**

Di sepanjang perjalanan yang kulakukan hanya diam. Aku tak berniat membuka suara, lagipula tidak ada topik yang menarik untuk diperbincangkan dengan Gavin. Aku lebih memilih berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan Elios. Hanya Elios yang ada dipikiranku saat ini.

Di tengah perjalanan tiba-tiba ponselku bergetar tanda pesan masuk, dengan sigap kubuka pesan itu dan rupanya pesan itu berasal dari Altair, kakakku.

Dokter Darrell : Selene, apa kau sudah mendengar kabar tentang Elios? Di mana kau sekarang?

Aku langsung membalas pesan itu dengan cepat, untung saja jariku sudah lihai memainkan papan ketik ponsel itu sehingga tidak sampai salah ketik.

Selene : Aku sudah mendengarnya Dok, apa kau sudah mendengar kabarku? Aku merindukanmu Altair. Aku sedang berada di jalan menuju rumah sakit.

Jika Gea telah memberitahu Altair bahwa aku telah menapatkan kembali ingatanku harusnya aku tak perlu menjelaskan panjang lebar jika bertemu dengannya nanti. Lagi pula memang benar aku sangat merindukan kakakku itu. Selang beberapa menit akhirnya aku mendapatkan pesan masuk, balasan dari Altair.

Dokter Darrell : Gea sudah menceritakan semuanya Selene, maaf karena akhir-akhir ini aku tak bisa menemuimu. Aku memang bukan kakak yang baik, tak seperti Elios yang selalu menjagamu. Kutunggu kau di rumah sakit. Aku pun sangat merindukanmu. Bersama siapa kau kemari?

Selene : Aku bersama Gavin.

Dokter Darrell : Jangan lengah Selene, kita tak pernah tahu apa yang sedang di rencanakan lelaki itu.

Kututup ponselku dan kulirik Gavin yang berada di sampingku sedang mengemudi. Kuakui aku memang sedikit menaruh curiga kepadanya setelah apa yang dia lakukan kepada Altair waktu itu, mungkin saja ia yang melakukan ini juga kepada Elios bermaksud membalas dendam.

"Mengapa kau memperhatikanku seperti itu Selene?"

"Ah tidak, tidak ada apa-apa, lupakan saja."

Untung saja ponselku kembali bergetar, benda itu berhasil menyita perhatianku dan menyelamatkanku dari pertanyaan–pertanyaan yang mungkin saja muncul dari mulut Gavin karena melihat tingkahku yang aneh tadi.

Aku belum sempat membalas pesan Altair jadi kurasa bukan ia yang mengirim pesan untukku dan benar saja. Sebuah nomor tak dikenal yang muncul di layar diketahu telah mengirimkan pesan untukku.

Nomor tak dikenal : Hati-hati kalian.

Selene : Siapa ini?

Nomor tak dikenal : Ini Tante sayang, maaf Tante baru mendapatkan nomormu dari Dokter Gea, kau pasti belum menyimpan nomor Tante.

Bagaimana mungkin aku menyimpan aku saja baru mengetahui nomor tanteku itu. Padahal aku sudah berfikir yang tidak-tidak barusan, kukira nomor yang tak dikenal itu akan menerorku, rupanya malah tanteku sendiri. Kugulirkan tombol pilihan di ponselku dan kusimpan nomor itu dengan nama Tante Aretaku.

***

Setibanya kami di rumah sakit aku langsung menuju resepsionis untuk menanyakan di mana ruangan Elios dirawat. Aku mengangguk dan berterima kasih kepada resepsionis itu setelah informasi yang kuperlukan sudah kudapatkan.

Aku berlari meninggalkan Gavin yang berjalan di belakangku. Yang kupikirkan saat ini aku hanya ingin bertemu dengan Elios sesegera mungkin. Aku bahkan melupakan Altair yang telah menungguku, aku hanya ingin bertemu Elios dan memastikan kata-kata Tante Areta benar adanya, bahwa Elios akan baik-baik saja.

Setelah beberapa menit menyusuri koridor rumah sakit, akhirnya aku menemukan letak kamar itu, dengan napas yang masih terengah-engah kuraih gagang pintu itu dan langsung mendorongnya berniat untuk masuk, namun betapa terkejutnya aku melihat sesuatu yang ada di depanku kini. Pemandangan seseorang yang aku cintai telah berada di pelukan orang lain. Dan yang lebih menyakitkan lagi orang lain itu adalah sahabatku sendiri.

Aku merasa kehilanganmu, entah senyummu, entah marahmu, entah cintamu. Kumerasa kehilangan semua yang ada pada dirimu. Saat aku tak bisa memilikimu seutuhnya aku hanya akan kehilanganmu seluruhnya.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang