IV

410 105 153
                                    

Semburat jingga di ujung senja membuatku enggan untuk beranjak. Aku menengadah, menatap langit dan melihat burung-burung yang berterbangan kembali ke sarang. Aku merasa kedamaian lagi dan lagi.

"Kau tak ingin pulang kah? Ini bahkan hampir gelap, Ibu pasti mengkhawatirkanmu." Elios memandang ke arahku.

"Apakah Ibu sudah pulang dari butik?" Aku menoleh kearahnya.

"Entahlah, aku belum menelponnya." Elios melepas jaketnya dan memakaikannya kepadaku. "Udaranya sudah mulai dingin, kau akan sakit jika terus duduk di sini, Ibu pasti akan memarahiku jika tahu kau kedinginan."

Aku hanya diam, aku masih ingin duduk di taman ini. Aku bahkan belum ingin pulang. Tak lama kemudian ponsel Elios berbunyi, seseorang menelponnya.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Ibu. Sebentar, akan kukatakan kepada ibu kita dimana." Elios menerima telepon ibu dan menjelaskan keadaanku. "Ia baik-baik saja Bu, tak usahlah Ibu khawatir begitu, aku bisa menjaganya." Elios terdiam memberikan jeda agar ibu menjawab perkataanya. "Berapa lama Ibu pergi? Baiklah, aku akan menjaganya. Aku akan menelpon atasanku dan meminta izin untuk cuti. Jaga diri Ibu baik-baik."

"Jangan ditutup, aku ingin bicara dulu, Ibu mau kemana?" kataku sambil merebut benda pipih itu dari tangan Elios. "Ibu mau kemana? Kenapa aku tak diajak? Apa Ibu akan pergi jauh?"

Terdengar tarikan napas panjang ibu dari seberang.

"Ibu harus ke luar kota, ada urusan mendadak yang harus Ibu tangani. Ibu tak akan lama, jika nanti urusannya sudah selesai Ibu akan segera pulang. Sementara Ibu pergi, Elios akan menjagamu, bersikaplah baik dan jangan merepotkan kakakmu itu, jangan membuatnya lelah. Ia sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini, jangan lupa minum obatmu. Kau mengerti anak manis?"

"Iya Bu aku mengerti, berjanjilah agar cepat pulang. Aku bahkan tak melihat Ibu pergi." jawabku lesu. Namun entah mengapa ibu malah menghembuskan napas lega.

"Ibu sangat bersyukur punya anak penurut sepertimu. Tak apa kau pergi, tapi jangan pulang larut malam, Ibu tahu sudah lama kau tak pergi bersama kakakmu. Jangan telat makan, akan Ibu bawakan oleh - oleh jika Ibu pulang nanti, sekarang berikan ponsel itu kepada kakakmu, ada sesuatu yang Ibu lupakan."

"Nah, Ibu ingin bicara lagi denganmu." Kusodorkan benda itu kepada Elios.

"Iya Bu, aku berjanji, jangan lupa telpon lagi jika sudah sampai di sana ya Bu. Aku mau membawa Selene pulang, sudah dulu ya, kututup teleponnya."

"Baiklah, Ayo pulang, aku lapar. Kau bisa memasak untukku kan?"

"Tentu aku akan memasak untuk adikku ini, si anak manis dan penurut kesayangan ibu."

Meski Elios mengucapkannya dengan ekpresi datar, entah mengapa kalimat yang ia ucapkan tadi membuatku merasa mual.

**

"Apa kau sudah selesai makan?" tanya Elios kepadaku. Sementara aku menghabiskan makan malamku, Elios sibuk membersihkan dapur dan mencuci piring-piring kotor.

"Sudah, akan kubawa piringku ke sana." Belum sempat aku berdiri ia langsung melarangku.

"Duduk saja disitu dan jangan bergerak, kau ingat kau harus menuruti kakakmu ini kan?" Ia mendekat ke meja makan, mengambil piringku dan kembali mencuci piring. Aku hanya bisa memandang punggungnya. Saat ia sudah selesai ia berbalik badan dan langsung mendekat ke arahku.

"Kau pasti lelah, cepatlah tidur, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini, esok aku akan menemanimu bermain lagi, jadi berjanjilah kau akan tidur tanpa mendengarkan dongeng dariku ya?" Ia membopongku ke kamar dan membaringkan tubuhku di ranjang.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang