XXIII

137 31 87
                                    

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang karena yang kurasa aku membeku di tempatku berdiri. Kakiku terasa lemas kukira tempurung lulutku undur diri terlebih dahulu tanpa mengajakku ikut serta.

Hatiku bergejolak dan terasa sakit mungkin saja hatiku telah patah. Sepertinya ini yang dinamakan sakit tapi tidak berdarah. Seperti ada api yang berkobar membakarnya, kurasa ini yang dinamakan cemburu. Dengan susah payah kucoba menghirup udara dan mengingat bagaimana cara bernapas karena aku merasa dadaku sesak bagaikan kekurangan oksigen. Aku masih tertegun di tempatku berdiri, ingin undur diri tapi kedua pasang mata di depanku telah melihat keberadaanku.

Ica melepas pelukannya di tubuh Elios, sebentar biar kulihat dengan seksama. Kurasa tadi yang kulihat adalah Ica yang sedang memeluk Elios sedangkan Elios hanya duduk bersandar di tepian ranjangnya tanpa memperlihatkan ekspresi menolak untuk dipeluk atau bahkan menerimanya. Ia hanya membiarkan Ica merengkuh tubuh lemasnya dalam pelukan. Sekali lagi kujelaskan berarti tadi yang kulihat bukan mereka yang berpelukan karena Elios tidak membalas pelukan itu. Kuhembuskan napas pelan mencoba menenangkan diriku sendiri.

Mau tidak mau aku harus berpura-pura dan memakai topeng senyumku agar mereka mengira bahwa aku baik-baik saja tapi lihatlah betapa buruknya aku yang ingin memulai sandiwara itu karena mendengar suara Ica yang menyebut namaku saja membuat dadaku kembali bergetar hebat dan air mata yang susah payah kutahan mengalir begitu saja membasahi pipiku.

"Selene? Mengapa kau hanya berdiri di sana? Kemarilah." Ica tersenyum, kulihat matanya berbinar. Entah terlalu lugu atau pura-pura tidak mengerti mengenai apa yang tengah kurasakan setelah melihat ia yang telah memeluk Eliosku, maksudku aku ingin memiliki Elios dan kuharap ia telah merelakan masa lalunya itu untuk kumiliki.

Kuhapus linangan air mataku dan kucoba melangkahkan kakiku mendekat, untung saja tempurung lututku sepertinya sudah kembali sebelum membuatku mematung lebih lama lagi.

Setelah kudekati Ica meraih tanganku dan menyuruhku duduk di tempatnya tadi. Ia undur diri karena ada sesuatu hal yang harus ia selesaikan.

"Untunglah kau datang, Ibu sedang berada di ruangan Dokter Darrell dan sekarang kau yang mendapat giliran menjaga Elios, aku harus pergi ada yang harus kuselesaikan."

Aku mengangguk dan menuruti perintah Ica, kulihat sepasang kaki rampingnya melangkah meninggalkan ruangan dan sebelum kaki itu membawa tubuhnya lebih jauh kusempatkan mengucapkan salam perpisahan yang sedikit terlambat karena ia sudah berada di depan pintu saat kusadari aku lupa mengatakan apapun kepadanya.

"Hati-hati di jalan Ca," ucapku akhirnya. Ica yang mendengar langsung menoleh ia melambaikan tangannya dan kemudian membuka pintu untuk keluar dan pergi.

**

Kini hanya ada aku dan Elios di dalam ruangan itu. Namun ada yang aneh dari Elios, ia hanya diam dan menatap kosong ke arah pintu.

"Elios," panggilku sembari meraih tangannya untuk kugenggam. Kutunggu jawaban darinya namun ia tak kunjung membuka suara.

"Elios, apa kau mendengarku?" panggilku sekali lagi. Kali ini aku berhasil mendapatkan perhatiannya karena sepasang manik mata itu telah beralih menatapku.

"Kau itu siapa?" ucapnya lirih.

Tunggu, apa dia melupakanku? Aku terpaku mendengar kata yang telah ia ucapkan. Aku menggelengkan kepala tak mempercayai apa yang kudengar barusan.

"Siapa kau? Mengapa menangis begitu?"

Bagiamana aku tidak menangis? Seseorang yang kucintai ternyata melupakanku dan terlebih lagi sebelum aku datang ia telah jatuh kepelukan wanita lain. Bagaimana jika hatinya telah diambil Ica kembali? Bagaimana ini? Belum apa-apa hatiku semakin terasa sesak. Kulepaskan tangan Elios dari genggamanku dan menggunakan kedua telapak tangan itu untuk menutupi wajahku. Aku menangis sesegukan.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang