XVI

165 42 110
                                    

Gelap. Hanya satu kata yang dapat mendeskripsikan apa yang kulihat saat ini. Pengap tanpa penerangan satu titik cahaya. Kemudian kegelapan itu seperti menarikku lebih dalam lagi dan lagi. Apa aku akan mati? Apa aku akan mengalami kematian seperti Psyche? Atau apakah aku bernasib sama seperti Eurydice?

Lalu sayup–sayup kudengar sesorang memanggil namaku, suara seorang wanita paruh baya dan samar–samar kudengar suara seorang pria menenangkan wanita tadi.

"Sudah lah Ma, Nanti juga Selene bangun. Papa yakin dia hanya kecapekan tadi di kebun."

"Tapi dia tak pernah sampai pingsan Pa–" Ucapan wanita itu tertahan ketika melihatku membuka mata secara perlahan.

"Ahh,, akhirnya kau bangun juga Selene. Apa kau masih merasa pusing?"

Ya, aku pusing dan bingung. Dimana aku sekarang? Siapa kedua orang tua ini? Pertanyaan demi pertanyaan begitu saja bermunculan.

Aku berada di sebuah kamar sederhana yang didominasi dengan kayu. Di samping ranjang yang aku tempati terdapat sebuah meja kecil dan terdapat sebuah foto yang dipigura. Cukup untuk menjelaskan di mana aku berada sekarang.

Aku berada di rumah Gavin dan sepertinya wanita paruh baya ini adalah ibunya Gavin dan otomatis pria yang berada di sampingnya adalah ayahnya. Tapi mengapa aku berada di rumah Gavin? Dan mengapa wajahku berada di foto itu bersama dengan mereka? Di mana Elios di mana ibu?

Di foto itu, diabadikan saat aku sedang tersenyum dan aku berada di antara Gavin dan ayahnya, sementara ibunya berada di samping Gavin. Terlihat aku cukup akrab dengan mereka, seperti layaknya sebuah keluarga.

Kedua orang tua itu terlihat keheranan saat melihatku yang hanya terdiam tak menjawab pertanyaan mereka dan malah sibuk memeriksa sekeliling.

"Kau mencari Gavin? Ia sedang pergi membeli obat untukmu, tadi dia bilang kau memang sedang agak demam saat ia menjemputmu dari kampus dan sesampainya di sini kau malah menemui kami di kebun belakang dan akhirnya kau jatuh pingsan," jelas wanita paruh baya itu kepadaku, sedangkan pria tadi pergi dan tak lama ia kembali membawakan segelas air.

"Maaf aku merepotkan."

"Tak usah begitu Selene, kau sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri. Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Aku mengangguk.

"Ya sudah kau istirahat dulu, minumlah ini. Gavin pasti sebentar lagi pulang. Om mau kembali ke kebun dulu yah, masih ada yang tertinggal di sana. Biar Tante saja yang menemanimu di sini." Pria itu menyodorkan segelas air untukku dan kemudian beranjak dari kamar Gavin.

Aku meminum air pemberian pria tadi dan menaruh gelasnya ke atas meja di samping ranjang, setelah itu kubaringkan lagi tubuhku yang terasa sangat lemas. Si wanita tadi mendekat dan menyentuh keningku menggunakan punggung tangannya.

"Suhu badanmu sudah menurun Selene sudah tak sepanas tadi, Apa kau tahu? Tadi Gavin sangat mencemaskan keadaanmu. Kau banyak merubah anak itu." Wanita tadi tersenyum. Aku masih tidak memahami merubah seperti apa yang ia maksud.

"Gavin sekarang lebih bisa menghargai orang lain dan tidak lagi egois seperti dulu, tak salah jika ia memilihmu sebagai calon istrinya."

Wanita itu menggenggam tanganku dan kulihat ada cincin di jari manisku. Aku hanya tersenyum merespon apa yang barusan ia katakan.

Pandanganku menyisir penjuru ruangan kamar Gavin, terdapat fotoku yang mengenakan gaun putih bersama Gavin yang memakai jas berwarna hitam. Sungguhkah ia pasanganku?

Selang beberapa menit suara Gavin terdengar dari arah luar, ia berteriak memanggil Mamanya.

"Mah,, Mama di mana?"

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang