Setelah perbincangan panjangku dengan ayahku ditelpon kemarin, aku sama sekali belum memberi jawaban. Disatu sisi aku tak ingin membuat Ayahku kecewa, namun disisi lain aku tak ingin kecewa dengan keputusanku sendiri.
Menikah.
Ah, jangankan membayangkannya, memikirkannya saja tidak, apalagi diumurku yang masih semuda ini. Ya, ayahku ingin menjodohkaku dengan anak sahabatnya. Azhuar. Azhuar Hermawan namanya, ia gagal menikah karena ternyata perempuan yang akan dinikahinya adalah seorang penipu dan imigran gelap dari australia. Padahal, mereka akan menikah dua minggu lagi. Undangan sudah dicetak dan disebar. Gaun, katering, dan lain sebagainya sudah siap. Dan Jika mereka membatalkan pernikahan itu, mereka akan malu bukan kepalang.
Dan ayahku menyarankan untuk menjodohkan aku dengan anak sahabatnya itu. Ayahku memintanya denga nada sangat memohon padaku saat ditelpon. Untuk balas budi terhadap kebaikan Om Hermawan, katannya. Haruskah aku mengorbankan semua perasaan bimbang ini menjadi jawaban "setuju" demi agar aku tak mengecewakan Ayahku (?). Demi agar hutang budi Ayahku terbayarkan (?). Aku menjadi korban balas budi? Ya.
Dulu. Ayahku bukanlah siapa-siapa dikota Jakarta, ia hanya lulusan SMA, bisa berbuat apa lulusan SMA di kota Jakarta?. Ayahku dengan Om Hermawan memang sudah bersahabat sejak dibangku SMA tapi nasib Om Hermawan lebih baik, ia melanjutkan kuliah sedangkan ayahku tidak karena orangtua ayahku tidak mampu membiayainya. Kurang lebih lima tahun ayahku bekerja serabutan, mulai dari kuli pikul sampai menjadi kuli kuli lainnya ia lakoni demi dapat melamar ibuku. Setelah lima tahun kerja serabutan, akhirnya ayahku mendapat pekerjaan yang layak yaitu menjadi officeboy dikantor Om Hermawan dan akhirnya berhasil melamar ibuku. Bertahun-tahun ayahku mengabdi dikantor Om Hermawan, sampai pada saat kantor itu bangkrut pun ayahku masih sering datang ke kantor untuk bersih-bersih, meskipun tak dibayar sepeser pun. Beberapa bulan kemudian Om Hermawan bangkit. Merintis karirnya dari 'nol' lagi, dengan bantuan ayahku tentunya. Perusahaan mulai bangkit dan berkembang sangat cepat. Ayahku diangkat menjadi Wakil Direktur. Saat Perusahaan memiliki cabang, ayahku lah yang dipilih oleh Om Hermawan untuk memegang kendali cabang perusahaam tersebut. Bertahun-tahun hingga akhirnya ayahku divonis kanker stadium IV dan tak bisa memegang kendali perusahaan lagi dan perusahaan pun diserahkan kepada anak laki-laki Om Hermawan yang nomor tiga. Azhuar. Sebenarnya, Om hermawan memiliki dua anak laki-laki. Anak yang kedua dan ketiga. Tetapi entahlah.. Mengapa Om Hermawan justru mengalihkan perusahaan itu kepada anak ketiganya, mengapa tak ia alihkan saja kepada anak keduanya. Entahlah.. Aku tak mengerti kenapa dan mengapanya.
Setelah berfikir lama, aku tak kunjung mendapat jawaban. Ya atau tidak. Pikiranku buntu. Jika aku menikah aku akan kehilangan Kak Mahesa, jika aku tidak menyetujui pernikahan ini entahlah apa yang akan terjadi dengan keadaan ayahku yang semakin parah.
Malamnya handphoneku kembali bergetar, kali ini ibuku yang menghubungiku. Ah, mungkin hanya untuk betanya kabar. Pikirku.
"Halo mah"
"Halo jo. Apa kabar kamu? Sehat?"
"Sehat mah, mamah sendiri gimana?"
"Alhamdulillah sehat.."
"Alhamdulillah.."
"Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Gimana keputusanmu?"
"Tentang perjodohanku dengan anaknya Om Hermawan itu?"
"Ya"
"Apa yang terjadi kalo aku nolak?"
"Mamah yakin kamu tau akibatnya"
"Maafin aku mah, tapi aku butuh waktu untuk mempertimbangkan lagi keputusan ini"
"Apa lagi yang kamu pertimbangkan? Toh, kamu tau akibatnya kalo kamu nolak"
Akibatnya? Ya, tentu saja berhubungan dengan penyakit kronis ayahku.
"Ada temanku datang, aku akan menghubungi mamah lagi nanti"
"Jangan bohong!"
Cepat-cepat kupencet tombol merah. Telepon terputus. Aku melempar handphoneku asal, entah kesudut mana, hanya suara gaduh seperti barang pecah yang kudengar. Aku hanya sedang tak ingin membahas masalah pelik ini. Menikah bukanlah perkara kecil, jelas itu perkara besar. Umurku masih sembilanbelas dan aku harus menikah? Bahkan kuliahku masih seumur jagung. Dan bahkan urusan hatiku pun belum usai, pahatan nama 'Mahesa' masih tersimpan rapih dilubuk hatiku.
Oh Tuhan, bantu aku. Apa yang harus aku lakukan agar aku tak mengecewakan siapa pun, tidak pada ayahku juga tidak pada diriku sendiri. Kepalaku sakit memikirkan hal ini, aku memutuskan untuk tidur sejenak.
Pukul 21.40 aku terbangun karena ada yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Sedikit kesal karena ia meganggu tidur nyenyakku. Aku membuka pintu kamar, dan tenyata ibu pemilik kost. Ia mengatakan padaku bahwa orangtuaku menghubunginya dan ingin berbicara denganku. Ia menyerahkan handphonenya padaku.
"Ini" menyodorkan handphone "masih nyala tuh de, tinggal ngomong aja" aku mengangguk.
"Halo, assalamualaikum"
"Walaikumsalam" terdengar suara berat ayahku.
"Papah.."
Terdengar suara batuk hebat dari sebrang sana.
"Gimana jo? Kamu udah putuskan?"
Air mataku mengalir, beruntung ibu kost menunggu telponnya dengan duduk diteras depan rumahnya. Lama aku tak menjawab pertanyaan ayahku. Hanya isak tangis yang kulakukan. Hingga ayahku menanyakannya sekali lagi dan aku tetap masih terisak dalam tangisku. Ketiga kali ayahku menanyakannya lagi barulah aku jawab.
"Iya pah, iya. Jo mau. Tapi janji ya, papah sembuh, papah mau minum obat yang rutin, ngga boleh ada kata nyerah dalam menghadapi penyakit papah ini"
Akhirnya jawaban itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku berhasil menyembunyikan isak tangisku di telpon dari ayahku.
Aku butuh pundak sahabat-sahabatku! Dea, Ical, Taccil, Bagio, Jeje dan Luvita. Aku ingin menangis sejadi-jadinya dengan mereka!! Oh Tuhan, entah sakit ini berbentuk apa, entah sakit ini dapat diibaratkan seperti apa rasanya, yang jelas aku merasakannya! Merasakan ada yang menusuk-nusuk dalam hatiku. Sakit. Teramat-amat sakit.
"Iya papah janji. Papah seneng kamu mau nurut sama papah, hari jum'at kamu pulang ya buat persiapin semuanya"
"Bagaimana dengan undangannya pah?"
"Sudah dicetak ulang, dua hari lagi sudah siapa disebar"
See? Kalian pasti tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku menolak mentah-mentah perjodohan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa?
RomanceAku menanti. Tapi menanti bukanlah diam. Detik berputar dan aku tetap berputar di lingkaran. Ya, ini masih saja tentang dia sekali pun aku telah di miliki. ...... Percayalah.. tidak akan ada yang abadi. Termasuk orang yang mencintaimu juga akan perg...