Budayakan tekan bintang sebelum membaca. Terima kasih.
Suasana malam yang sunyi berubah menjadi bising, malam ini tidak seperti biasanya. Harusnya ia tau ada yang tidak beres, suasananya berbeda. Sunyi kali ini berbeda, terlalu sunyi menurutnya bahkan terkesan mencekam.
Ia duduk di atas tempat tidurnya. Terdengar suara tembakan berkali-kali, dan suara benda tajam beradu. Hingga...
Brakk
Pintu terbuka dalam sekali dobrakan membuat anak itu kaget, matanya berbinar ketika ia melihat siapa yang datang.
"Kakak, apa yang terjadi?".
Anak itu bertanya pada seorang laki-laki yang memiliki wajah hampir mirip dengannya. Laki-laki itu tidak menjawab, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir memberi isyarat agar anak itu diam.
Anak itu diam mengamati setiap pergerakan kakaknya, kakaknya mengambil sebuah ransel berukuran sedang berwarna hitam, ia mengambil beberapa benda penting dan memasukannya ke dalam ransel itu.
Setelah itu kakaknya medekat kearahnya, memegang kedua pundaknya menatap manik mata abu-abunya.
"Dengar, simpan pertanyaan mu untuk nanti. Ikuti saja perintah ku. Paham?"
Anak itu mengangguk pelan, "paham."
"Ikut aku, jangan jauh-jauh dariku!." ujar kakaknya tajam, memakai ransel itu di punggungnya dan menarik tangan anak itu.
Anak itu mengangguk patuh, mengikuti setiap langkah kakaknya, jantungnya berpacu cepat, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Mereka keluar dari kamar perlahan, mata tajam kakaknya memindai sekitar ruangan, sepi. Ia menarik tangan adiknya, berlari kecil menuju pintu rahasia yang berada di belakang.
"JANGAN!!!, Aaaaaaaa!."
Dor.
Langkah kecil anak itu terhenti, ia menoleh ke arah kamar orang tuanya. "Kakak, ibu kak!.
Laki-laki itu menggeleng tegas, manik mata abu-abunya menatap tajam anak itu, "tidak ada waktu, ayo Zio!."
Dengan wajah yang memucat anak itu mengangguk, ia kambali berlari kecil mengikuti kakaknya, genggaman tangannya mengencang. Kakaknya berhenti memberinya syarat untuk diam.
Mereka mengumpat di balik sebuah gucci besar, mata anak itu melotot ketika melihat seseorang mememakai pakaian serba hitam dengan tudung menutupi wajahnya, tangan orang itu menancapkan sebuah pisau dapur pada seorang pelayan di rumahnya.
Orang itu tertawa puas, cairan berwarna merah kental mengucur dari perut pelayan itu. Tak sampai disitu orang itu menendang kencang tubuh pelayan itu dan menginjaknya.
Mata anak itu memanas, tubuhnya menegang, genggaman tangannya mengencang, ia berusaha mati-matian mencegah isakan keluar dari mulutnya.
Setelah memastikan pelayan itu mati, orang itu pergi dengan tawa menggema di ruangan. Kakaknya keluar dari persembunyian, ia menatap adiknya lekat lalu memberi syarat untuk cepat pergi.
Dengan tangan yang gemetar kakaknya menekan tombol rahasia yang tersembunyi di dalam sebuah buku yang tebal. Ia menekan tombol itu dan yang terjadi selanjutnya adalah tembok beton di depannya bergetar dan membuat sebuah celah Sempit.
Tanpa pikir panjang sang kakak kembali menarik tangan adiknya melewati celah itu, mereka berlari. Hawa dingin menerjang dirinya mengingat ia hanya memakai piyama berwarna birunya.
Mereka sudah berhasil keluar dari rumah itu, berlari menjahui taman belakang dan menuju pagar besi yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Sang kakak berhenti menoleh pada sang adik. "Panjat!."
Patuh anak itu berusaha memanjat pagar tinggi itu, tidak terlalu sulit baginya untuk memanjat pagar, kakaknya sudah pernah mengajarkannya cara memanjat pagar ketika ingin pergi dari rumah tanpa pengawasan.
Setelah selesai memanjat ia menangkap ransel hitam yang di lempar kakaknya dari atas pagar, kakaknya melompat dan berdiri tegak di hadapannya.
Mereka kembali berlari menjauh, hingga kembali menemukan orang yang memakai pakaian hitam sedang berdiri tegap di seberang jalan, orang itu mengacungkan sebuah pistol pada salah seorang anak buah ayahnya.
Ia mengenal orang itu, mereka cukup dekat, karena orang itu adalah salah satu suruhan ayahnya yang di tugaskan untuk menjaga dirinya.
"Tidak!!." ujarnya spontan.
Dor.
Orang itu menembak tepat di jantungnya, anak itu kembali terdiam mematung, "lari Zio, lari!." ujar sang kakak menarik adiknya segera menjauhi orang itu.
Mereka berlari secepat yang mereka bisa, anak itu menoleh ke belakang dan menemukan orang berpakaian itu mengejar mereka. Tanpa di sangka-sangka si kakak mengeluarkan benda hitam dari saku celananya dan mengarahkannya ke orang itu. Ia menekan pelatuknya dan...
Dor.
Peluru Melesat dengan cepat dan mengenai kaki orang itu, orang itu jatuh tersungkur, "sial!, akan ku balas kau!." maki orang itu.
Memanfaatkan waktu, mereka kembali berlari memasuki gang-gang kecil hingga anak itu sudah tidak kuat lagi. "Cukup kak, aku lelah." ujarnya dengan nafas yang terengah-engah.
Bahu mereka naik turun, anak itu terduduk lemas di atas trotoar jalan, "jangan sekarang, mereka masih mengejar." kata si kakak.
Dengan sedikit kekuatan yang masih ada si kakak merangkul anak itu mambantunya berjalan, "kita harus cari tempat sembunyi."
Dengan langkah tertatih-tatih mereka berjalan mendekati sebuah mobil bak. Terlihat sang kakak sedang berbicara dengan pemilik mobil bak itu. Setelah selesai berbicara ia kembali menemui adiknya.
"Zio, dengarkan aku. Ikutlah dengan mobil ini, ia akan membawa mu ke tempat aman. Berjanjilah pada ku untuk menjaga diri, tunggu aku di sana. Aku akan menjemput mu nanti." ujar kakaknya menatap sang adik lekat.
Zio mendongak menatap kakaknya, "kakak tidak ikut?."
Si kakak menggeleng, senyum tipis terukir di wajahnya, "ada sesuatu yang harus di kerjakan, aku akan datang menjemput mu."
"Aku ikut dengan mu." mohon anak itu, matanya berkaca-kaca.
Pistol hitam yang tadi ia gunakan, ia letakkan di atas telapak tangan adiknya, "gunakan ini untuk menjaga dirimu. Aku percaya kau bisa."
Setelah mengucapkan itu sang kakak mundur selangkah, tangan kanannya terulur untuk mangacak rambut adiknya itu, "aku akan menjemput mu, tunggu aku disana. Ini perintah!."
Kakaknya tersenyum kecil, membalik badannya dan berlari memasuki gang kecil hingga kegelapan menelannya.
"KAKAK!!!."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen
ActionKarena pembantaian yang terjadi di rumahnya. Anak itu harus hidup membawa dendam. Tak ada kehangatan di dirinya, semua sudah hilang tergantikan dingin yang menusuk. Ia harus merasakan jatuh berkali-kali, kelembutan di hatinya sudah terampas terganti...