Budayakan tekan bintang sebelum membaca. Terima kasih.
Jason mencibir pelan, "kau memang selalu begitu."
Zio mengedikkan bahunya acuh lalu memukul pelan pundak Jason dua kali. "Aku pergi."
"Yayaya, tuan sibuk."
***---***
Zio kembali larut malam. Ia segera bergegas pergi ke kamarnya. Tangannya membuka handle pintu dan memutarnya. Pria itu kembali menutup pintu lalu mengunci pintu.
Ia hanya mengunci kamarnya bila ia berada di dalam, kuncinya ia biarkan menyantel di lubang kunci. Jadi ia tidak perlu repot mencari kuncinya lagi. Pemuda itu melepas sepatu miliknya dan menaruhnya di rak sepatu.
Ponselnya ia letakkan begitu saja di kasur, sedangkan pemiliknya sudah masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak butuh waktu lama ia keluar dengan keadaan yang terlihat lebih segar, dan handuk yang melilit di pinggangnya.
T-shirt putih dan celana army pendek menjadi pilihannya. Zio menutup tirai putih jendela tak lupa mengintip sebentar keadaan di luar.
'Waktunya istirahat.'
Zio melangkah mendekati kasurnya yang sudah lama tidak ia tempati. Langkahnya terhenti begitu ia melihat segelas susu putih di atas meja belajar. Keningnya berkerut, ia mengingat kapan ia meminta di buatkan susu itu.
Dia tidak pernah meminta di buatkan susu putih, lalu siapa yang membuatnya?, dia bukan lagi anak-anak yang harus meminum susu sebelum tidur. Tunggu, ia ingat sesuatu. Dulu seseorang sering membuatkannya susu sebelum tidur.
"Sekarang ayo bangun, ganti pakaian mu dan istirahat. Aku sudah membuatkan susu coklat di atas meja belajar mu."
Suara itu tiba-tiba langsung muncul di ingatan Zio. Sesaat ia seperti orang ling-lung yang hanya menatap segelas susu itu bingung.
"Aku sudah membuatkan mu segalas susu putih."
Lagi, kalimat yang berbeda muncul di pikirannya.
"Habiskan susu mu Zio!."
"Minum selagi hangat."
"Cepat istirahat Zio!, kau sudah latihan sedaritadi."
"Mana mungkin aku bisa tidur kalau kau masih latihan?. Yang ada aku tidak bisa memejamkan mata karena khawatir kau terluka dan tidak ada yang mengobati."
Senyum tipis tercetak diwajahnya, hanya disaat seperti ini ia dapat mengeluarkan senyumannya. Hanya dengan mengingat kenangan dengan anak perempuan itu.
Lama ia terdiam memandang segalas susu putih itu. Zio mendekati meja belajarnya, tangannya terulur mengambil segelas susu itu. Ia menghirup baunya memastikan susu itu tidak berbahaya. Setelah yakin ia menenggak susu itu hingga habis.
Rasanya berbeda dengan susu yang biasa Ale buat. Ia merasakan manis madu di susu itu. Tak mau ambil pusing ia meletakkan kembali gelas yang kini sudah kosong di atas meja.
Ia menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang sudah tiga tahun ini ia tinggali. Tak ada debu di kasur itu, keningnya mengernyit ketika ia mencium aroma lain di kasurnya. Aroma yang sudah lama tidak ia temukan, aroma yang ia rindukan.
Kejanggalan ini tentu saja membuatnya penasaran. Tapi rasa kantuk menderanya, aroma itu membuatnya tenang. Semenjak hilangnya anak itu ia tidak pernah bisa beristirahat dengan tenang dan nyenyak. Aroma ini mengingatkannya pada seseorang, sedikit mengobati rindunya pada anak perempuan itu.
Dan akhirnya malam itu ia bisa tidur dengan nyenyak setelah kejadian hilangnya anak itu.
***---***
Lagi-lagi Zio terbangun karna mimpi anak itu. Di mimpinya anak itu kembali datang, ia kembali dengan senyuman di wajah manisnya. Rasanya ia tidak ingin bangun dari tidur agar dapat bersama anak itu, tapi ia sadar itu adalah hal yang mustahil.
Sejenak ia terdiam diatas kasurnya, dulu di pagi hari Ale akan mengganggu tidurnya dengan cara membuka gorden jendela agar cahaya matahari masuk dan menyilaukannya. Atau dengan menggelitiki telapak kakinya, memencet hidung mancungnya, menarik kelopak matanya, sampai mencipratkan air ke wajahnya.
Dan masih banyak lagi cara yang anak itu gunakan untuk membangunkannya. Mungkin dulu Zio akan kesal bila Ale mengganggu tidur nyenyaknya tapi sekarang ia merindukan itu, hal-hal kecil yang sering di lakukan anak itu, ia merindukannya.
Setelah merasa nyawanya sudah benar-benar terkumpul, ia bangkit dari kasurnya dan pergi ke kamar mandi. Cukup sepuluh menit baginya untuk membersihkan tubuhnya, ia keluar dengan keadaan segar.
Matanya melirik jam yang tergantung di dinding, sedangkan kedua tangannya sibuk mengancingi kemeja hitam yang ia kenakan. Ia mengecek ponselnya memeriksa beberapa panggilan yang tak terjawab dan beberapa pesan yang belum di buka.
Hanya ada beberapa pesan dari kolega bisnis, ia membacanya dengan malas dan segera mengirim jawabannya lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana bahannya.
Sebelah tangannya menyisir rambutnya yang terpotong pendek kebelakang. Ia lupa dimana meletakkan sisirnya akhirnya ia hanya menggunakan tangannya sebagai sisir. Setelah merasa cukup dengan penampilannya, ia menyambar kunci mobil yang berada diatas nakas.
Tangan kanannya memutar kunci lalu menarik kenop pintu. Sepatu hitam mengkilap miliknya sudah terpasang rapih menutupi kakinya. Dengan santai ia melangkah pergi tanpa mengunci pintu kamarnya kembali.
Ia melangkahkan kakinya menuju dapur, wangi harum makanan langsung memenuhi indra penciumannya. Disana seorang gadis berambut pirang sedang sibuk berkutat dengan masakannya. Rambut pirang panjangnya ia ikat menjadi satu yang memperlihatkan leher jenjangnya.
"Lexi?."
"Ya?." jawabnya tanpa menoleh.
Zio menuangkan air putih di gelasnya, "kau yang membuatkan susu untukku semalam?."
Tiba-tiba saja gadis itu menjadi gugup, dengan perlahan ia membalikkan tubuhnya dan menatap Zio malu-malu. "I-iya. Apa kau tak menyukainya?."
"Sebaiknya tak perlu repot-repot."
"Itu tidak merepotkan sama sekali."
Zio mengambil sehelai roti tawar dan mengoleskan selai kacang diatasnya. "Kau tau tentang pelayan baru di lantai empat?."
Lexi mematikan kompornya dan menuangkan masakannya keatas piring, "siapa namanya?."
"Arletta."
"Oh, Arlett... Tunggu siapa?."
"Arletta, kau mengenalnya?."
Perubahan ekspresi terlihat dengan jelas di wajah Lexi. Gadis itu meneguk salivanya, dan menatap Zio gugup. "Ti-tidak aku tidak mengenalnya. Memangnya ada apa?."
Sebelah alis Zio terangkat melihat gelagat aneh Lexi, "aku hanya ingin tau tentangnya."
"Aku belum pernah melihatnya, apa dia hanya berada di lantai empat?."
"Kurasa ya, dia bertugas di sana."
Zio tau ada kebohongan terselip di ucapan gadis itu tapi dia memilih diam pura-pura tak mengetahui. Sambil menggigit roti tawarnya ia memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. 'Wajahmu itu bagai buku, buku yang mudah sekali di baca.'
Setelah rotinya habis ia kembali meneguk airnya hingga tandas. Zio melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Boleh aku minta tolong?."
"Tentu, apa?."
"Bisakah kau membawakan sarapan untuknya?. Dia sangat tertutup dan tak suka keramaian, jadi dia hanya makan-makanan yang diantar pelayan itu juga hanya makan siang dan malam."
Tentu saja Zio tau tentang hal itu, kemarin ia meminta seseorang mencari informasi tentang gadis bernama Arletta itu. "Apa kau bisa?."
"Tentu, aku akan membawakan sarapan untuknya. Aku juga ingin bertemu dengannya."
"Baiklah, aku pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen
ActionKarena pembantaian yang terjadi di rumahnya. Anak itu harus hidup membawa dendam. Tak ada kehangatan di dirinya, semua sudah hilang tergantikan dingin yang menusuk. Ia harus merasakan jatuh berkali-kali, kelembutan di hatinya sudah terampas terganti...