Budayakan tekan bintang sebelum membaca. Terima kasih.
Setetes air mata turun di pipinya. Mengalir dan jatuh di atas punggung tangan dingin Alicia. Ia mengambil tangan dingin itu dan menggenggamnya erat berusaha menyalurkan kehangatan dari genggamannya. "Aku tak mengerti. Apa yang terjadi?. Kenapa mereka merebut kalian dari ku?. Tidak cukupkah mereka mengambil kedua orang tua ku?, Daniel?, dan sekarang kalian?, lalu siapa lagi setelah ini?. Apa mereka ingin aku kesepian?, membunuhku secara perlahan?."
"Luka ku sudah terlalu banyak. Bahkan belum sembuh sepenuhnya. Dan mereka kembali menorehkan luka. Apa aku harus mati?, agar mereka berhenti memberikan ku luka?. Aku lelah. Kenapa mereka tidak bunuh aku saja?. "
Zio mengucapkan itu dengan lirih. Tiap kata yang ia ucapkan mengandung berbagai emosi membuat siapapun yang mendengarnya bisa merasakan apa yang ia rasakan.
------------------------------------
Pemakaman berjalan dengan lancar, mereka di kuburkan di dekat makam Daniel. Para pelayat berdatangan dengan pakaian serba hitam mereka. Ale terus terisak di depan makam Alicia, begitu pula dengan Cicil yang memeluknya erat.
Zio berdiri cukup jauh dari sekumpulan orang itu. Ekspresinya datar, matanya menatap tajam sekitar. Tak ada raut sedih di wajahnya, yang ada hanyalah ekspresi datar dan tatapan tajamnya.
Hatinya sudah mengeras, ia sudah terlalu lelah untuk terus bersedih dan menangis. kehangatannya mulai memudar digantikan dengan perasaan dingin yang membekukan hatinya. Ia menghela nafas, berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu.
Langkah tegasnya mempercepat ketika ia ingat sesuatu. Ia berlari menuju teras. Disana seekor anjing putih berbintik coklat kesayangannya diam tak bergerak. Darah menempel di bulu putih berbintik coklatnya. Tanpa pikir panjang ia melepas kaos panjang yang ia pakai untuk membungkus hewan itu.
Ia mengambil cangkul yang berada di belakang, dan mulai menggali tanah di samping pondok di dekat kandang sapi. Punggung telanjangnya terkena terik matahari, tapi ia tetap terus mencangkul tanpa memikirkan punggungnya yang tak tertutupi pakaian.
Setelah merasa cukup ia meletakkan tubuh kaku hewan itu kedalam galian tanah dan mulai menutupinya dengan tanah. Ia melempar cangkul sembarangan dan berjongkok di depan gundukam tanah itu. 'Terimakasih sudah menemaniku selama ini kawan.' ucap Zio dalam hati.
Tiba-tiba bahu Zio di tepuk oleh seseorang. Ia menoleh melihat wajah orang itu. Sebelah alisnya terangkat. "Apa?."
"Sudah siang kau belum memakan apapun dari semalam. Makanlah, ibuku sudah memasakkan makanan untukmu." Ujar Calvin-anaknya pak Lano.
Zio bangun dan menepuk-nepuk celana bahannya yang kotor. "Terimakasih, tapi aku tidak lapar."
"Tapi kau bisa sakit."
"Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit ini." ujar Zio dingin lalu melangkah pergi menuju pondok.
Ia melangkah memasuki kamar khusus laki-laki. Mengambil ransel hitamnya yang berada di bawah tempat tidur dan menaruhnya di atas tempat tidur. Anak itu membuka resleting tasnya dan mengambil kaus abu-abu berlengan pendek lalu memakainya.
Zio kembali menutup resleting tasnya dan meletakkan tasnya di kolong tempat tidur. Sekilas ia melirik ke jendela, terlihat para pelayat mulai pergi meninggalkan pemakaman. Ia tidak terlalu peduli dengan itu.
Sekarang pondok ini benar-benar sepi. Hanya ada dirinya dan Ale. Entah apa yang harus ia lakukan selanjutnya, ia terlalu lelah untuk berfikir. Tak terasa kakinya membawanya memasuki kamar Alicia.
Zio tertegun sejenak di depan pintu ketika tangan kanannya membuka pintu kamar. Alicia tengah duduk di kursi sambil menatapnya membuat tubuh Zio mematung. Ia melangkah mendekati Alicia dan duduk di kursi yang berhadapan dengan perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen
ActionKarena pembantaian yang terjadi di rumahnya. Anak itu harus hidup membawa dendam. Tak ada kehangatan di dirinya, semua sudah hilang tergantikan dingin yang menusuk. Ia harus merasakan jatuh berkali-kali, kelembutan di hatinya sudah terampas terganti...