Budayakan tekan bintang sebelum membaca. Terima kasih.
"kenapa?, kau tak terima?. Memangnya kau siapanya gadis ini?. Tunangan?, kekasih?, ahh, aku tau. Kalian pasti sudah lebih dari itu, mengingat kalian tinggal bersama dan hanya berdua, Anak muda seperti kalian ini sungguh menggemaskan. "
Kedua tangan Zio terkepal, ia tau Pria itu tengah memancingnya. Pria beriris abu-abu itu menghela nafas, sebelah tangannya mengusap rambut merah tembaganya yang berkilauan tertimpa sinar lampu. "Kau benar, kita memang sudah lebih dari itu. Setidaknya masa mudaku tidak semenyedihkan masa mudamu yang hanya di penuhi dengan ambisi untuk memperbudak orang lain demi mencapai keinginannya."
Zio melangkah mendekat, membuat Pria itu sedikit panik. Pria berperut buncit itu mengeluarkan sebuah revolver yang sengaja ia simpan. "Berhenti Zio. Selangkah lagi kau maju maka akan kupastikan kepala gadis ini akan bolong sehingga kau dapat melihat bagian dalamnya."
***---***
Diam.
Pria berambut merah tembaga itu mendadak langsung diam. Tak ada pergerakan lagi dari dirinya. Kakinya bagai tertanam ditempat, tubuhnya bagai ditahan oleh tembok tak kasat mata. "Jangan bertindak bodoh!." ujar Zio dingin.
Tuan besar tertawa, "siapa yang bodoh disini Nak?, aku atau kau? . Harusnya aku yang mengatakan itu. Jangan bertindak bodoh dengan mendekatiku atau....... Dor, kepala gadismu yang menjadi tumbalnya." Pria buncit itu berkata sambil menempelkan moncong revolver-nya di kepala Ale.
"Dan Dor, kepalamu juga akan mengalami hal yang sama.... Atau mungkin lebih. "
Saat itu juga mereka berdua langsung menoleh pada sumber suara. Mata Tuan besar membulat sempurna, ketika sebuah sniper menyapanya dengan ramah. Itu Steve si pemilik gubuk mewah.
"Ngomong-ngomong aku sangat senang bisa mengunjungi pintu rahasia dan melewati lorong-lorong rahasia yang mengagumkan. Itu bisa menjadi referensi di gubuk kumuhku."
Raut kaget bercampur marah tercetak jelas di wajah Tuan besar. Orang itu sudah menemukan pintu rahasia yang sengaja dibuat dan tidak ada yang mengetahui selain dirinya dan pembuatnya tentu saja, bahkan Arnold-pun tidak mengetahui hal itu.
Matanya melirik meja kerja kebanggaannya yang terbuat dari kayu terbaik yang pernah ada. Posisi meja itu sudah berubah, bergeser kedepan satu meter dari tempatnya semula. Muncul sebuah lubang petakan kecil yang muat dilewati seseorang, ada anak tangga yang membantu untuk naik dari ruang bawah ke ruang ini.
Arnold yang menyadari hal itu berusaha menolong Tuan besar, tapi Zoe tak membiarkannya pergi, "tidak sopan meninggalkan pertarungan begitu saja, fokus pada lawanmu. Itukan yang selalu kau katakan padaku dulu?."
Arnold tak bisa mengelak, ia tidak bisa meninggalkan Zoe yang dengan senang hati menahannya agar tidak membantu Tuan besar. Ia benci ketika kata-katanya sendirilah yang memerangkapnya, dan lagi ia benci karena Zoe yang hafal setiap perkataan yang ia ucapkan saat mereka berduel.
"Jangan sakiti Tuan besar, biar aku yang menggantikannya. "
"Tidak bisa, Kau itu bagianku. Lagipula aku tidak akan menyakiti Tuan besar, karna adikkulah yang akan melakukannya."
Sia-sia, percuma ia meminta bahkan memohon sekalipun, Zoe tidak akan mengabulkan ucapannya. Dari pada harga dirinya habis terinjak-injak, lebih baik ia tetap fokus agar bisa mengalahkan Zoe dengan cepat dan membantu Tuan besar.
"Zio, aku sudah menyelesaikan tugasku. Memasang bom di setiap sudut tempat ini adalah hal yang menyenangkan. Karena tugas itu aku menemui banyak rahasia di tempat ini. Dan kapan kita akan meledakkan tempat ini?, sejujurnya aku sangat menyayangkan bila tempat rahasia itu harus hancur. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen
ActionKarena pembantaian yang terjadi di rumahnya. Anak itu harus hidup membawa dendam. Tak ada kehangatan di dirinya, semua sudah hilang tergantikan dingin yang menusuk. Ia harus merasakan jatuh berkali-kali, kelembutan di hatinya sudah terampas terganti...