BAB 1

3K 46 5
                                    


"Kenapa lo nggak ngerti juga! Gue bela-belain jauh-jauh kesini cuma buat ini!" teriak Key pada pria yang mencengkeram erat tangannya.

"Iya, gue tahu! Tapi lo liat," pria itu berhenti sejenak. Digerakkan tangannya menunjuk tanjakan dengan kemiringan hampir 90o yang ditumbuhi banyak Edelwais, "Lo bisa celaka Key!"

"Gue nggak peduli!" tegas Key penuh dengan penekanan. Ditepisnya tangan pria yang terus mencengkeram lengannya itu.

Semangat Key begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan gambar Edelwais dari jarak yang amat dekat. Bahkan, dia tak peduli lagi dengan jalur terjal penuh bebatuan yang harus dia lewati. Dan kemudian...

"Key? Key? Key..." panggil Ratna mengguncang tubuh Key perlahan.

Key terperanjak dan langsung membuka matanya.

"Kok kamu tidur di bawah, sih?" tanyanya lembut seraya beringsut pergi.

"Eh!" rengkuh Key melihat dirinya dan sekeliling.

****

Semalam, Key tak bisa tidur. Otaknya terus bekerja, memutar ulang ucapan Ratna tadi siang, "Besok, kita balik ke Jakarta."

Di balik selimut tebalnya, Key terus saja bergerak memutar, telungkap, terlentang, dan meringkuk. Berharap menemukan posisi nyaman yang bisa membuainya hingga terlelap.

Sayang, harapan itu tak terwujud. Kesal dengan itu, Key pun bangun. Sebagian wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang berantakan. Dari balik rambut hitam sedikit kecoklatan, kedua matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 01.05. Tuh jam, mati kali ya! Dari tadi di situ mulu! Pikirnya.

Key pun menghela nafas lalu menegakkan kembali kepalanya yang sedikit miring. Kedua tangannya bergerak, menyibak rambut yang akan diikat jadi satu. Setelah itu, dia pergi ke arah jendela dan membukanya.

Udara dingin, seketika menerpa tubuhnya. Membuat Key bergidik kemudian pergi. Dengan gerakkan cepat, Key pergi ke arah saklar lampu yang tak jauh dengan pintu. Dua detik berikutnya, cahaya putih merayap ke segala penjuru ruangan. Menunjukkan seluruh isi ruangan yang didominasi warna putih itu.

Kemudian, Key beringsut duduk di lantai bersandar ranjang. Dilihatnya jam sekali lagi, "Tuh kan, masih tetep jam satu!" gerutu Key seraya menyisir rambutnya dengan jari dari depan ke belakang.

Kemudian, Key mengambil ponsel dari bibir ranjang. Dikontaknya Davin. "Ck! Nggak diangkat lagi!"

Setelah sekali mencoba tapi tak ada respon, Key menyerah. Dilemparnya ponsel ke tengah ranjang. Kemudian, disapukan matanya ke seluruh ruangan. Tinggal beberapa jam lagi, tempat yang sejak 5 tahun terakhir dia huni bersama orang tuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam memori, tanpa seorang pun bisa mengenyahkan.

Dan Key pun tertidur.

****

Key pun bangkit, duduk di atas ranjang. Dia toleh Ratna yang tengah membuka koper di sudut ruangan. "Biar Key aja Ma, yang packing!"seru Key menyadari apa yang akan Mamanya lakukan.

"Yakin, nggak mau Mama bantu?" tanya Ratna menoleh ke Key.

Key pun mengangguk yakin.

"Ya udah buruan. Habis itu turun sarapan!"

Key mengangguk lagi.

Setelah Ratna keluar, kembali Key tatap ruangan itu sekali lagi. Setelah puas, diingatnya mimpinya tadi.

Gunung...

Key menggeleng pelan lalu pergi ke kamar mandi.

****

Seperti biasa, sembari menunggu Ratna menyiapkan sarapan, Irfan membaca laman bisnis dan ekonomi di koran. Sesekali, tangannya bergerak mengambil secangkir kopi yang sudah lebih dulu Ratna siapkan.

Sementara itu, sambil mengoleskan mentega dan selai di roti, Ratna mengontak anaknya. Setelah menekan layar ponsel beberapa kali, dia selipkan ponsel itu di antara bahu dan telinga. Meski terlihat kerepotan, tapi dia tak masalah dan tetap terampil mengoleskan selai ke atas roti.

****

Di Jakarta, di kamar yang bisa dibilang cukup luas–dan pastinya cowok banget–, Davin masih terlelap dalam buaian selimut tebalnya meski matahari sudah mulai meninggi. Tak berapa lama, kelelapan itu terusik oleh suara dering ponsel di meja lampu, tepat di samping ranjang. Membuatnya mau tak mau harus terjaga dari tidur panjangnya.

Dengan mata masih tertutup, Davin menggerakkan tangannya meraba meja lampu mencari letak ponsel. Setelah dapat, dia langsung menerima telepon itu, tanpa melihat siapa yang menelponnya. Karena pikirannya hanya tertuju pada satu orang,

Pacarnya...!

"Iya sayang, ini juga udah bangun, kok!" ujar Davin dengan pedenya setelah menekan tanda terima.

"Davin, ini Mama!" pekik Ratna, langsung meletakkan roti kembali ke piring. Segera digenggamnya ponsel itu secara seksama.

Sedang Davin...

Begitu mendengar suara Mama, kedua matanya langsung terbuka. Dipelototi layar ponsel lekat-lekat. Tertera tulisan 'Mama Sayang' beserta deretan nomornya. "Mama...," gumamnya segera duduk dan kembali menempelkan ponsel ke telinga. "Iya Ma, ada apa? Tumben pagi-pagi udah nelpon?"

"Siapa yang kamu panggil sayang tadi?" desak Ratna.

Mendengar itu, Irfan langsung menoleh ke arah dapur yang memang tak ada sekat pemisah. Melihat istrinya menunjuk-nunjuk angin dengan sendok dipenuhi selai coklat, dia hanya geleng-geleng dan kembali ke korannya.

Key yang baru saja datang bergabung, heran juga mendengar Mamanya ngomel-ngomel, "Mama kenapa, Pa?" tanyanya seraya menarik kursi di sebelah Irfan.

Irfan yang tak tahu pasti, hanya menggeleng tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari koran.

"Eh, siapa? Orang tadi Davin bilangnya Mama sayang!" kilah Davin.

"Awas aja ya, kalau sampai kuliahnya nggak bener Cuma gara-gara cewek. Jangan harap kamu bisa nikmatin fasilitas kamu yang sekarang," ancam Ratna.

"Iya, Mama Sayang...!"

Ratna hanya geleng-geleng dan diam-diam menghela nafas dalam-dalam. "Davin, kontrak Papa di sini sudah habis. Dan, Mama sama Papa mutusin buat balik ke sana. Kamu bisa, kan, jemput kita di bandara hari ini?"

"Seriusan Ma?" tanya Davin hampir saja melompat.

"Iya!"

"Gimana sama Key? Dia ikut, kan?"

Ratna pun menjauhkan ponsel dari telinga. Di lihatnya Key yang tengah menatap berkeliling. "Key?" panggilnya. Key pun menoleh, "Kakak tanya, kamu ikut ke Jakarta, nggak?" tanya Ratna pelan.

Key pun tersenyum. "Enggak!" jawabnya yang sudah pasti dapat ditangkap dengan jelas oleh pendengaran Davin.

"Seriusan Ma, Key nggak ikut?" burunya.

Ratna tersenyum, "Kalo nggak ikut, siapa yang akan ngurus adik kamu di sini? Emang dia bisa apa, ngurus dirinya sendiri."

"Wah, ngentengin!" celetuk Key dengan geleng-geleng.

Irfan yang sedari tadi hanya jadi pendengar tersenyum geli. Sementara itu, Davin terkekeh.

"Ya udah Ma, sekarang Davin mandi dulu. Nanti di jemput jam berapa?"

"Jam sepuluhan, lah!"

"Sip! Da, Ma!"

"Da...!" setelah telepon ditutup, Ratna pun meletakkan ponselnya, mengangkat roti bakar dan menghidangkannya.

"Kenapa sih, Ma?" heran Key melihat mamanya diam-diam tersenyum.

"Itu tuh, kelakuan Kakak kamu. Masak iya, dia ngira Mama pacarnya!" beber Ratna, menciptakan satu senyum di bibir putri dan suaminya.

Usai telpon itu berakhir, Davin tak juga beranjak dari ranjangnya. Di terawangnya hari-hari yang akan terjadi ke depan. Hari-hari yang akan dia lalui dengan Adiknya lagi. "Key...!" gumam Davin dengan tersenyum.

****

The Climbing Love (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang