( WaF - 2. Pulang ke Kampung Halaman )

1.7K 257 68
                                    

Pulang ke kampung halaman setelah bertahun-tahun menetap di negeri orang adalah hal yang Rey lakukan sekarang. Dengan senyum yang mengembang hingga menampilkan jelas lesung pipinya, pria berumur dua puluh tujuh tahun itu berjalan ke arah kakak perempuannya, Bey. Lengannya yang tertutupi oleh kaus dan jaket menarik koper berisikan barang-barang pribadi.

"Udah lama?"

Bey menggelengkan kepalanya sembari mendekat. Ia memeluk Rey yang langsung membalas pelukannya. "Nggak juga."

Usia Rey dan Bey hanya berselisih dua tahun. Mungkin jika tidak melihat kemiripan di wajah mereka, orang-orang akan mengira bahwa kakak-beradik itu adalah sepasang kekasih yang sedang menguapkan rasa rindu dengan memeluk satu sama lain.

Rey melepaskan pelukan lalu bertanya lagi, "Joan mana?"

"Di rumah. Dijagain Papi-Mami sama Bia. Soalnya Mas Irfan masih kerja," jawab Bey yang mulai melangkah lebih dulu untuk keluar dari bandara.

Joan adalah putri Bey yang baru berumur empat tahun. Wanita itu sudah menikah sejak enam tahun lalu, berbeda dengan Rey yang masih melajang di umurnya yang sudah lewat seperempat abad. Oleh karena itu, Rey dipaksa pulang ke Indonesia dengan alibi agar dekat dengan keluarga. Padahal otak dari semua ini─Tami, ibu mereka, ingin mempromosikan Rey pada anak perempuan teman-temannya yang bila memang tertarik, akan dijodohkan dengan pria itu.

Sebenarnya Rey sangat sadar akal muslihat Tami dan ia sempat menolak untuk pulang ke Indonesia, tetapi dengan mulut yang lihai, ibunya memenangkan situasi. Jadilah Rey yang sekarang sudah duduk di jok empuk mobil Bey.

"Nanti lo bantu Papa sama Bia jagain Joan, ya, Rey?" tanya Bey yang lebih terdengar seperti perintah. Bahkan ia tak menatap Rey saat berbicara, karena berfokus memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobil di menit berikutnya.

Rey balik bertanya sebelum melontarkan kalimat persetujuan, "Terus lo?"

"Gue sama Mami mau jenguk Om Henri." Bey masih memberikan sebagian besar atensinya pada jalan raya. "Maksud gue, nanti lo lihatin aja gitu sambil istirahat. Kalau nangis, telepon gue atau Mami."

Kalimat pertama Bey langsung diserap dengan cepat oleh otak Rey. Keningnya mengerut sedikit. "Om Henri? Suaminya Tante Yana?"

Bey menaikturunkan kepalanya. "Iya, Tante Yana teman SMA-nya Mami."

"Kok bisa suaminya kena serangan jantung?"

"Entahlah." Bey memasang tampang prihatin. "Gue tahu setelah Mami dapat kabar dari Bia."

"Bia temanan sama anaknya, kan?"

"Iya, si Seva."

Rey diam selama beberapa menit. Seingatnya, hubungan keluarganya dan keluarga Henri sangatlah dekat. Tami dan Yana berteman sejak SMA dan sampai sekarang sering mengikuti arisan bersama. Ditambah kini Bia─adiknya, putri bungsu di keluarga─dan Seva juga berteman. "Mbak ...."

"Iya?"

"Gue mau ikut ke rumah sakit."

Bey melirik Rey sebentar. "Serius? Nggak capek?"

"Iya, gue nggak terlalu capek."

"Padahal nggak pa-pa, lho, kalau lo nggak ikut," Bey menjeda ucapannya ketika membelokkan mobil untuk memasuki kompleks perumahan orang tua mereka. "Nggak usah maksain gitu. Lain kali juga bisa."

What a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang