Memori adalah kesadaran masa lampau yang hidup kembali. Dapat juga disebut dengan ingatan. Otak Seva sekarang tengah bekerja memutar ulang momen pembicaraannya dengan Bia tadi. Dengan napas teratur, ia memperhatikan jalan dengan pikiran yang berkelana.
"Ini beneran lo, kan, Sev? Seva yang gue kenal? Sahabat gue sama Orlin, kan? Sevarina Lallita Putri?" Pertanyaan demi pertanyaan beruntun keluar dari mulut Bia. Setelah berhasil membawa Seva ke kamarnya, ia langsung menuntut penjelasan.
"Apa gue kelihatan kayak hantu?" Seva balas melontar pertanyaan. Tubuhnya berubah arah lalu berjalan ke ranjang Bia. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Seva langsung melemparkan badannya. Helaan napas lega terdengar dari gadis itu. Pertemuan antara badannya dan kasur membuat Seva tenang. Detak jantungnya sudah tak berpacu secepat tadi. Canggung yang ia rasakan pun lenyap. Tempat tidur ini sangat mujarab.
Bia mengikuti yang Seva lakukan. Ia menempatkan diri di sebelah sahabatnya itu. Mereka memandang langit-langit ruangan bersama. "Kenapa lo nggak pernah cerita?"
Kulit-kulit wajah Seva mengerut. Bibirnya mengerucut. Bia tak dapat melihatnya dan ia tentu tahu jelas tentang itu. Namun, Seva tetap melakukan hal tersebut. "Semuanya terlalu rumit ...?"
"Gue bakal dengar sampai tuntas."
Seva bergeser. Ia mendekat ke arah Bia dan memeluk sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu. "Telepon Orlin dulu. Gue juga mau Orlin tahu biar gue nggak cerita dua kali."
Memanjangkan tangannya, Bia merogoh ponsel di dalam kantong celana yang ia kenakan. Setelah menemukan benda canggih itu, ia segera menghubungi Orlin. Untunglah situasi berpihak pada mereka, Orlin langsung mengangkatnya. Bia segera mengaktifkan pengeras suara agar Seva dapat mendengar juga.
"Halo, Bi," sapa gadis dari seberang telepon.
"Halo, Lin!" sahut Seva dan Bia di detik yang hampir bersamaan. Kemudian, mereka saling tertawa.
"Ih, ada Seva?!" tanya Orlin dengan suara yang begitu nyaring. "Ih, mau ke sana!"
"Ya, udah ke sini dong sebelum gue pulang," jawab Seva.
Dari seberang telepon terdengar helaan napas berat yang dilakukan Orlin. "Ya, mau sih tapi nggak bisa. Gue lagi kerja. Ini aja istirahat sebentar."
Kompak Seva dan Bia menampilkan wajah sedih bercampur kasihan. Mereka mengerti keadaan keluarga Orlin yang membuat gadis itu harus bekerja paruh waktu.
"Ya, udah lain kali deh." Bia yang bersuara. "Tapi lo bisa, kan, stay dulu sebentar? Ada yang mau kita bicarain."
Beberapa detik tak ada jawaban dari Orlin, hingga ia menjawab, "Boleh. Bicarain apa?"
"Seva pacaran sama mas gue. Percaya nggak lo?"
"Tu-tunggu ... apa?!" Suara Orlin lebih kuat dari yang tadi. Bahkan Seva dan Bia terkejut dibuatnya. "Bercanda, ya, kalian?! Seva sama Mas Rey?! Woy, ah!"
"Nah, kan, lo juga nggak percaya. Gue juga mau gitu tapi gue ngelihat pake mata kepala gue sendiri."
"Gila, gila, Seva! Gila! Ceritain sekarang!"
Sebelum memulai, Seva melepaskan pelukannya pada tubuh Bia. Ia memasukkan udara ke paru-parunya terlebih dahulu. Kemudian, mulai mendongeng tentang asal-usul hubungannya dengan Rey. Bia dan Orlin menjadi penyimak yang baik. Mereka tak menyela sama sekali dan terus mendengarkan sampai Seva selesai.
"Itu kenapa lo ada di sana sekarang dan ... ajakan makan siang waktu itu?" tanya Orlin setelah Seva selesai bercerita.
"Iya," jawab Seva untuk keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...