Suasana canggung merupakan nama lain dari ketidaknyamanan. Kadang sangat tak bisa dihindari sampai manusia harus terjebak di dalamnya. Setelah melepaskan pelukan tadi, Seva sadar bahwa Rey menghidupkan saklar kekikukan di antara mereka. Keduanya menikmati atmosfer hangat yang dihasilkan matahari dalam diam. Mencoba menyibukkan diri dengan otak masing-masing.
Seva yang tadi menangis sudah tak meneteskan air matanya lagi. Semua petuah Rey menenangkannya. Setiap penggalan kalimat itu sudah menggenang di otak Seva. Juga berhasil menendang pikiran-pikiran buruk yang tadi sempat berkuasa. Seva akan berusaha membuat nasihat dari Rey tak tertepis di otaknya. Karena dengan itu, Seva jauh lebih percaya diri. Ia tak berjanji tapi akan berusaha untuk tidak merendahkan dirinya lagi.
"Sebenarnya alasan kamu nangis apa?"
Suara Rey mengudara menarik Seva yang sedang bertafakur. Membuat gadis itu sedikit kaget. Kepala Seva impuls menoleh ke arah Rey. Ia tak langsung menjawab karena baru menyadari, dirinya terlalu banyak bermain dengan lamunan hari ini.
Rey yang berada di sebelah Seva masih setia menatap dara itu. Menunggu jawaban sambil bertanya lagi, "Alasan awalnya bukan karena yang tadi, kan?"
Tungkai Seva yang tadi lurus ke bawah sofa ditarik oleh empunya. Ia melipat kakinya di depan dada. "Iya. Gimana Om bisa tahu?"
"Tadi pagi kamu nggak nangis waktu saya datang." Tatapan Rey semakin lekat. "Apa ada yang ganggu kamu?"
Pandangan Seva kembali lurus ke depan. Alisnya sedikit menukik. Agak tak mengerti kenapa Rey malah berpikir ia diganggu; juga malu untuk mengakui alasan yang sebenarnya. Kali ini Seva terdiam dalam waktu yang lama. Rey tak mencoba mendesaknya untuk segera menjawab.
Setelah dikiranya sudah menemukan jawaban yang tepat, Seva kembali menatap pria di sebelahnya. Embusan napasnya keluar pelan. Kalimat yang akan ia keluarkan akan terdengar lebih memalukan. Akan tetapi, Seva juga tak mau mengakui alasan aslinya. Sekarang gengsinya sedang menggunung. "Seva lagi ... datang tamu bulanan," kata Seva dengan cepat di tiga kata terakhir. Pipinya lantas menampilkan semburat merah.
"Cuma karena itu?"
Tak suka dengan pertanyaan Rey, Seva memberengut. "Kok cuma sih? Sakit tahu, Om."
"Jadi, sekarang kamu sakit?" tanya Rey, mencoba mengerti.
Dengan cepat Seva menggeleng. "Nggak."
Rey mengernyit. Semakin tak mengerti dengan gadis di depannya. "Terus kenapa nangis?"
Mata Seva terpejam lelah. Kemudian, ia kembali membukanya. "Bisa, nggak, kita berhenti ngomongin ini? Alasannya emang bukan sepenuhnya karena masalah tadi, bukan juga karena ada yang ganggu Seva." Tilikan Seva berpendar pada wajah Rey. "Seva nggak pa-pa. Seva bisa nanganin semuanya."
"Oke." Rey mengangguk-angguk tanda mengerti. "Saya bakal selalu ada di sini kalau kamu mau cerita dan butuh bantuan. Nggak perlu ngerasa nyusahain saya lagi."
Kali ini, Seva yang menjengitkan kepalanya. Ia bangkit, lalu menarik lengan Rey agar melakukan hal yang sama. "Ayo, kerja!"
Mendapatkan perlakuan seperti itu, Rey tertawa. Segera ia mengikuti perintah dara di depannya. Mereka berjalan berdampingan menuruni atap. Rey menarik tangan Seva yang memegang lengannya. Ia memilih untuk menautkan jari-jari mereka.
Tentu saja Seva menyadari setiap pergerakan Rey. Wajahnya yang sejak tadi merona semakin memerah. Perutnya pun terasa geli. Mungkin karena kupu-kupu yang berterbangan, seperti yang sering buku novel romansa ungkapkan. Semua itu membuat Seva mendadak gugup. Jantungnya juga berpacu lebih cepat.
Untuk menetralkan detak jantungnya, Seva berdeham dan bertanya, "Kira-kira nanti Om kena marah nggak kalau izin selama ini?"
Rey menjawab bertepatan dengan mereka yang melewati pintu keluar. "Saya ketua kokinya kalau kamu lupa."
Kejemawaan terdengar kental dari jawaban Rey. Hingga Seva tak dapat menahan cibirannya. "Iya sih, ketua koki, tapi masih ada manajer restoran. Kalau ketahuan, nanti Om dipecat gimana? Seva nggak mau punya suami pengangguran."
Yang Seva ujarkan mampu membuat Rey terkekeh geli. Pria itu masuk ke dalam mobilnya diikuti Seva. "Saya cari pekerjaan di tempat lain," sahut Rey santai.
"Cari pekerjaan, kan, sekarang susah banget. Apalagi kalau Om dipecat secara nggak terhormat dari B&J," bibir Seva mencebik membayangkannya, "pasti susah dapat kerja di tempat bagus lainnya."
Senyum penuh kejahilan Rey tampilkan. "Kalau gitu, saya balik ke Italia lagi."
Sudut-sudut bibir Seva semakin menukik. "Seva nggak mau tinggal di luar negeri."
"Yang ngajak kamu ikut siapa?"
Kepalan tangan Seva langsung mendarat ke bahu Rey yang mulai menyetir. Tadi ia sempat ingin menarik rambut pria itu. Namun, urung karena tak mau menantang maut. "Ih, Om nyebelin banget!"
Tawa Rey semakin menggelegar. "Kamu nggak mau saya tinggalin?"
Lagi, Seva mencibir. "Pede banget sih. Kalau nanti Om pergi, ya, udah pergi. Kalau bisa, nggak usah balik-balik lagi sekalian. Seva mau deketin Mas Langit aja."
"Yakin dia mau sama kamu?"
"Om Rey!" teriak Seva sebal. Ia mendengus saat melihat Rey tak merasa terganggu sama sekali. Pria itu bahkan tampak sangat menyukai hal ini. Bisa dilihat dari cara Rey terbahak.
Sebetulnya Seva tak benar-benar sebal. Hatinya juga senang karena mereka dapat menjalani momen-momen mengasyikkan seperti ini. Rasa syukur menguar pada diri Seva. Ia merasa beruntung karena mendapatkan laki-laki seperti Rey. Pria tersebut dapat menjadi pengayom yang baik; hangat dan penuh perhatian; serta menyenangkan─jika melupakan kesan pertama mereka bertemu. Poin plus lainnya adalah wajah atraktif itu.
Tanpa sadar Seva memperhatikan Rey. Penasarannya bergejolak seketika. Satu pertanyaan menggerayangi kepalanya: kenapa Rey masih belum menikah sampai sekarang? Di usianya yang sudah matang dan kelebihan yang Seva jabarkan tadi, seharusnya Rey dapat dengan mudah memagnet kaum hawa.
Ya, seharusnya.
"Om," panggil Seva.
Rey sudah berhenti tergelak. Ia menoleh sebentar ke arah Seva. "Iya?"
"Tadi Om udah nanya-nanya Seva. Sekarang Seva yang mau nanya sesuatu sama Om."
Senyum satire Rey keluarkan. "Tadi aja kamu nggak mau terbuka banget."
Bola mata Seva kontan berotasi. "Seva bakal tetap nanya dan kalau Om nggak mau jawab, ya, udah nggak pa-pa. Gimana?"
"Oke."
"Terlepas dari hubungan kita, kenapa Om belum nikah sampai sekarang? Padahal Om punya daya tarik yang kuat." Seva menjeda sesaat. Matanya beralih ke langit-langit mobil. "Seva heran aja, laki-laki kayak Om malah dipaksa nikah. Harusnya Om bisa dengan mudah nemuin pasangan."
Entah perasaan Seva atau memang benar, netranya melihat tubuh Rey yang langsung menegang. Hal itu mampu membuat kerutan dalam tercipta di dahi Seva.
Apa ada yang salah dengan pertanyaannya?
( WAF - 23. Nama Lain dari Ketidaknyamanan )
Cuma mau bilang, hari ini ulang tahun visual Om Rey versi sebelum revisi. Ulululu, pibesdei, Masnya. Nggak kerasa udah 28 aja sekarang.
And btw, mau curhat dikit, M baru inget, dulu M pernah kayak Seva; nggak percaya diri karena takut nggak bisa ngimbangin pasangan, tapi nggak parah sampe kepikiran banget dan jadi badmood sih. Cuma kadang-kadang aja kepikirananya, takut kelihatan kekananakan gitu.
Hehe.
The simple but weird,
MaaLjs.7 Oktober 2019 | 00:15
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...