Jika alat penyedot debu dapat menghisap segala kotoran, maka Rey merupakan orang yang membuat napas Seva terhisap entah ke mana. Ketika melihat sosok pria itu berjalan ke arahnya, tubuh Seva kontan menegang. Ia menunduk. Mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu kembali menengadah demi membuktikan bahwa yang menghampirinya memanglah Rey. Namun, mengingat seminggu tanpa mendapati kabar atau melihat laki-laki tersebut, Seva masih skeptis. Kakinya melangkah mundur. Bermaksud menghindari Rey yang kian mendekat.
"Mau ke mana?"
Suara dan pertanyaan itu jelas tertuju pada Seva. Terbukti dari kedua mata Rey yang menatapnya, tetapi Seva masih tak percaya. Ia malah berbalik, memastikan kehadiran seseorang dari belakangnya yang mungkin diajak Rey bicara.
"Saya ngomong sama kamu, Seva."
Mendengar namanya disebut, jantung Seva sontak terpompa lebih kencang. Pelan sekali ia berbalik dengan kepala yang kembali tertunduk. Sebab tak mau melakukan kontak mata. Seva takut tangisnya yang mulai memenuhi pelupuk luruh.
"Kamu masih ada kelas?"
Seva menggeleng.
"Ada yang mau saya omongin. Bisa ke gedung kosong?"
Cebikkan Seva tertahan. Ia yakin, Rey ingin membicarakan tentang agenda memberitahukan perpisahan mereka pada keluarga. Sejujurnya, Seva belum siap. Bahkan ia tak menceritakan masalah ini pada Orlin dan Bia. Akan tetapi, saat mengingat bahwa dirinyalah yang membuat keputusan kemarin, Seva akhirnya mengangguk tanda setuju.
"Kamu bawa mobil?"
"Bawa."
"Kalau gitu saya jalan duluan, saya tunggu di sana, ya."
"Iya ...," jawab Seva sebelum Rey beranjak pergi.
Setetes air jatuh dari masing-masing bola mata Seva tatkala melihat punggung Rey menjauh. Tak mau menjadi tontonan─karena menangis─seperti bulan lalu, Seva segera beranjak ke mobilnya.
Sesampainya ia di dalam kendaraan beroda empat itu, Seva tak serta-merta menjalankannya. Gadis tersebut memilih untuk mengaplikasikan geming sambil memandang kemudi. Bersama keheningan, Seva tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia masih menyimpan rasa pada Rey. Perasaan itu terus dipupuk selama sebulan hingga membuatnya tumbuh menjadi cinta. Lebih kuat dari rasa yang terakhir kali Seva ungkapkan. Dan ketika membayangkan kehampaan yang benar-benar akan dirasakannya setelah ini, napas Seva kembali tertahan. Ribuan sesak mulai mencuat di dadanya.
( ⚘ )
Ini bukan kali pertama Seva bertemu Rey. Namun, kegugupan berhasil mengitarinya bak planet yang berevolusi. Membuat Seva melangkah pelan menuju sofa yang sudah ditempati Rey. Benda yang menjadi penyembunyi keluh kesahnya. Juga saksi bisu perpisahan mereka tempo lalu.
Tatkala jarak Seva dan sofa menipis, Rey menyadari kehadirannya. Pria itu berbalik. Menampilkan senyum lesung pipinya yang selalu Seva rindukan seminggu ini. Lengkung kebahagiaan yang ingin sekali Seva lihat setelah lama tak bertemu Rey. Namun, di saat seperti ini, Seva tak mampu membalas barang sedikit pun. Kenelangsaan memekati seluruh bagian tubuhnya.
Seva menarik napas dan menghelanya pelan. Ia mendudukkan diri di sebelah Rey dengan jarak yang cukup kentara. Wajahnya melengos. Mencoba mengabaikan senyum dan tatapan Rey yang berhasil membuat jantungnya kembali berdetak janggal.
"Kemarin kamu sakit, kan," Rey memulai obrolan, "sekarang udah sembuh?"
"Udah," jawab Seva. Indra penglihatannya masih tak mau bersobok dengan milik Rey.
"Alhamdulillah."
Bibir Seva terlipat ke dalam untuk beberapa saat. "Om nggak kerja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...