Rasanya sangat menyebalkan ketika sudah menyusun rencana dengan rapi untuk satu hari, tetapi ada seseorang yang merusaknya. Oleh karena itu, Rey hanya dapat mendengus ketika kamarnya diketuk oleh Tami. Padahal ia berniat untuk tidur sampai siang dan sekarang masih pukul tujuh lewat beberapa menit.
"Rey!"
Panggilan itu sangat melengking. Rey tak mau mendengarnya lebih lama. Dengan langkah gontai, ia beranjak ke arah pintu. Tangannya menekan dan menarik knop agar daunnya terbuka. Kemudian, tampaklah Tami yang memasang wajah garang. Wanita paruh baya itu terlihat begitu sebal.
"Kenapa, Mami?" tanya Rey. Ia menyempatkan diri untuk mengucek mata agar pandangannya menjadi jernih.
"Dari tadi Mami bangunin kamu!" omel Tami tanpa memedulikan pertanyaan Rey. "Sampai sakit suara Mami."
"Maaf, Mi." Hanya itu yang Rey keluarkan. Dirinya terlalu malas untuk berdebat. Pun tenaganya belum terkumpul.
"Ya, udah. Mandi sana."
Rey menggaruk kepalanya, bingung. "Aku baru mulai kerja besok, Mi. Bukan hari ini."
"Iya, Mami tahu. Cuma ... itu, lho, dompet Bia ketinggalan. Kamu tolong anterin, ya? Dia sekarang lagi di kafe dekat kampusnya. Mau pulang udah nggak ada waktu karena lagi nyelesain tugas di sana. Katanya, mau diserahin ke dosen jam delapan."
"Kenapa nggak minta tolong Mang Udin aja? Aku mau istirahat, Mi."
Tami kembali berbicara, "Kalo Mang Udin ada, nggak mungkin Mami nyuruh kamu, Rey."
"Emangnya Mang Udin ke mana?"
"Jengukin tetangganya yang masuk rumah sakit. Dari semalam emang udah izin bakal datang agak siang."
Rey menghela napasnya lalu mengangguk. "Ya, udah. Aku mandi dulu."
"Iya, cepat, ya."
( ⚘ )
Rey frustasi. Wajahnya diusap dengan kasar. Itu semua karena Rey tak bisa menemukan kafe di mana Bia berada. Sang ibu hanya memberi tahu bahwa letak tempat itu tak jauh dari universitas yang ditempuh adiknya. Akan tetapi, Rey tak dapat menemukan satu pun. Bahkan, ia sudah bolak-balik sebanyak empat kali.
Ia sudah mencoba untuk menghubungi Tami dan Bia. Namun, keduanya sama-sama tak dapat dihubungi. Para perempuan di keluarganya benar-benar sangat kompak.
Mengingat masih ada tersisa satu perempuan lagi yang belum coba ia hubungi, Rey kembali meraih ponselnya yang tadi sempat ia lempar ke jok sebelah pengemudi. Jari-jari panjangnya dengan gesit mencari nomor Bey. Kemudian, setelah menemukannya, Rey segera memulai sambungan telepon.
"Halo, Mbak!" seru Rey saat panggilan tersambung. Untunglah kali ini Bey tak sepihak dengan Tami dan Bia.
"Halo. Kenapa?" Sahutan dari seberang telepon diikuti suara gemerencik minyak. Sepertinya Bey sedang memasak.
"Lo tahu kafe yang biasanya Bia datangin untuk ngerjain tugas, nggak? Kafe di dekat kampusnya."
"Nggak tahu gue, Rey. Kenapa emangnya?"
"Dompetnya Bia ketinggalan. Mami nyuruh gue nganterin karena Bia nggak bisa pulang lagi," jelas Rey lesu.
"Tanyain dong ke anaknya."
"Nggak diangkat-angkat, Mbak. Kalau gue bisa ngehubungi dia dari tadi, gue nggak bakal telepon lo."
Terdengar suara kompor yang dimatikan sebelum Bey bertanya, "Terus Mami?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...