( WaF - 4. Ekspresi yang Dikeluarkan )

1.3K 223 37
                                    

Merengut adalah ekspresi yang dikeluarkan saat sedang kesal atau sebal pada suatu hal, seperti Rey saat ini. Wajahnya memasam kendati sudah sampai di rumah. Alasannya karena kejadian di rumah sakit tadi. Ia iri pada Bey yang dipanggil dengan sapaan kakak. Padahal dirinyalah yang lebih muda.

Di detik selanjutnya─saat mereka sampai di ruang keluarga, gemaan tawa Bey mengisi ruangan. Suaranya sanggup membuat konsentrasi Bia yang sedang membaca novel terganggu. Gadis itu pun memilih untuk memperhatikan anak tertua di keluarga mereka. Sementara Rey menghela napas karena tahu sekali sifat kakaknya.

Bey duduk di sebelah Bia. Senyumnya begitu lebar. "Bi, mau tahu sesuatu?"

Bia menimang. "Yang bikin Mbak ngakak?"

Tanggapan nonverbal─mengangguk Bey lakukan.

"Mau, mau," kata Bia dengan mata yang berbinar. Ia penasaran dan sangat antusias.

"Masmu dipanggil Om sama Seva," ujar Bey lugas sambil kembali tertawa. Ia tak bisa menahannya lagi.

Kontan saja Bia menoleh ke arah Rey. Kakak laki-lakinya itu berantensi pada televisi. Tampak tak acuh. Padahal ia tahu bahwa Rey hanya pura-pura. "Beneran, Mas?" Bia bertanya dengan senyum yang dikulum.

Lirikan malas Rey berikan pada Bey dan Bia. "Senang banget nistain saudara sendiri?"

"Aduh, Bi. Om Rey marah," ledek Bey dengan wajah yang begitu menyebalkan.

"Gue masih muda."

"Muda apanya?" Bey semakin terbahak. "Udah lewat seperempat abad. Sebentar lagi tiga puluh tahun. Sadar umur dong, adikku sayang."

Setiap berdebat dengan kakaknya, Rey pasti tak akan pernah menang. Bey itu mirip dengan Tami. Sangat lihai berbicara untuk menjatuhkan lawannya. "Lo juga tua. Kan, tahun depan udah tiga puluh," ucap Rey, mencoba membalas.

"Bodo amat tua. Yang penting penampilan gue masih kayak anak kuliahan."

"Lagi mimpi si Mba─"

"Lagian kamu juga salah." Tami memotong ucapan Rey setelah tadi hanya diam. Lebih tepatnya tak mau ikut campur dengan obrolan anak-anaknya.

Sepasang alis Rey tertaut. "Salah apa, Mi?"

Mata Tami mendelik. Membuat Rey sedikit bergidik karena intimadasi itu selalu menghantuinya sejak kecil. "Kok bisa kamu langsung nuduh Seva pencuri?"

"Tadi aku ketiduran. Tiba-tiba pas bangun udah ada anak itu." Rey membela dirinya. "Aku nggak tahu kalau itu Seva. Kan, aku udah bilang kalau dia berubah. Lima tahun lalu masih pendek banget, dandanannya juga beda."

"Emangnya nggak bisa ngomong baik-baik? Harus banget langsung nuduh kayak gitu?"

Hidung Rey melakukan penghelaan napas. "Aku belum sepenuhnya sadar. Aku belum fokus. Jadi, nggak bisa mikir jernih. Dulu Mami juga pernah, 'kan, baru bangun tidur terus masak malah masukin gula, bukan garam."

Kini wajah Tami yang merengut. "Kok jadi bahas tentang Mami?"

Rey bergeming. Kedua saudarinya menahan tawa sebagai penonton gratis. Terkadang Rey merasa sangat sial karena harus terlahir menjadi satu-satunya putra di keluarga mereka. Ia juga ingin saudara laki-laki. Walaupun keinginan itu sebenarnya sudah dapat dibilang terwujud semenjak Bey menikah dengan Irfan.

"Coba aja tadi kamu nggak berantem sama Seva." Napas Tami terhembus dengan berat. Arah matanya lurus ke depan. Seperti menerawang. "Mungkin bisa aja dia kesemsem sama kamu."

"Astagfirullahaladzim," ucap Rey yang diiringi gelak Bey dan Bia. Ia heran kenapa salah satu dari mereka tak ada yang tergerak hatinya untuk membelanya. Benar-benar kompak.

Pilihan Rey adalah beranjak dari sana. Ia tak kuasa harus menahan sabar karena ketiga perempuan tersebut. Menurutnya, lebih baik pergi ke kamar dan beristirahat. Andai saja waktu bisa diulang, Rey tak akan ikut ke rumah sakit. Dirinya benar-benar menyesal.

Sesampai di kamar, Rey langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Terasa sangat empuk dan membuat Rey nyaman. Seolah lupa bagaimana nikmatnya tidur. Lelahnya baru terasa sekarang.

Mata Rey terpejam. Aroma khas kamarnya menusuk hidung. Hal itu membuat Rey kembali pada atmosfer masa lalu. Sudah lima tahun, ia tak berada di ruangan ini. Jadwal pekerjaannya di Italia sebagai koki benar-benar padat. Hanya untuk pulang saat hari raya pun tak diizinkan. Maka dari itu, setiap tahun keluarganya akan datang ke Italia.

Rey tahu di Indonesia sudah banyak koki yang bisa dijadikan panutan dan restoran yang tak kalah bagus dari tempatnya bekerja selama di Italia. Sebenarnya, ia bisa berhenti dan kembali ke Indonesia kapan saja. Ia yakin kemampuannya tak akan ditolak di mana pun. Contohnya seperti B&J Hotel and Restaurant yang menerimanya sebagai kepala koki setelah ia mendaftar sejak bulan lalu. Akan tetapi, Rey belum mau─jika bukan karena paksaan Tami. Ia masih belum bisa menghadapi momok terbesarnya.

Pria itu membuka matanya perlahan. Benar apa yang dikatakan Bey saat di mobil tadi, Rey tak bisa terus berada di titik ini. Ia sudah harus melangkah maju.

Punggungnya ia angkat dari kasur. Rey melangkah ke arah beberapa bingkai foto yang terpajang di kamarnya. Untuk beberapa saat, Rey memperhatikan benda-benda itu. Di sana terdapat sosok sepasang laki-laki dan perempuan yang tersenyum lebar. Mereka terlihat bahagia, tidak seperti Rey yang menatapnya penuh nelangsa.

Tangan Rey bergerak mengambil pigura itu dan mengambil foto yang terpajang di sana. Dengan gerakan cepat, ia memasukkan setiap lembarannya ke dalam laci nakas yang ada di ruangan tersebut.

Rey kembali ke tempat tidur. Ia duduk di bibir ranjang. Sebuah senyuman tipis terukir di wajah pria itu. "Makasih udah ninggalin luka yang sampai sekarang pun belum kering, Atika," ucapnya saat setetes air mata terhempas ke lantai.

( WaF - 4. Ekspresi yang Dikeluarkan )

The simple but weird,
MaaLjs.

23 Agustus 2019 | 02:04

What a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang