Silir angin malam selalu menyejukkan makhluk yang tanpa sengaja bergesekkan dengannya. Seva adalah satu contoh dari mereka. Gadis itu membiarkan tubuhnya dilingkupi hawa dingin karena berdiam diri di balkon. Pandangannya mengarah pada ponsel yang sengaja ia letakkan di atas meja. Sejak tadi, benda persegi panjang itu terus berdering karena Rey mengirimkan pesan dan menelepon berkali-kali.
Seva tak ingin berbicara dengan Rey sekarang. Ia perlu ketenangan untuk menetralisir prasangka buruknya akan pria tersebut. Mungkin besok pagi, Seva akan beralibi ketiduran sebab kecapaian. Itu terdengar cukup masuk akal.
"Udah di-spam sampe diteleponin tapi tetap jual mahal. Emang cewek susah ditebak, ya, maunya."
Seva terperanjat di tempatnya. Suasana hening dan tenang yang ia rasakan mendadak diinterupsi oleh suara bas milik Deon. Dengan tatapan kesal, anak dara itu menoleh ke arah sepupunya yang mengaplikasikan sikap tak acuh.
"Lo ngagetin, tahu, nggak?!" omel Seva saat Deon duduk di bangku sebelahnya.
Masih dengan tak pedulinya, Deon mengangkat kedua bahu. "Tadi gue udah mau masuk kamar, tapi suara HP lo berisik banget. Respons coba."
"Cowok tuh nggak peka, ya, kalo cewek lagi perlu waktu sendiri," sindir Seva untuk Deon dan juga perkataannya.
Tatapan Deon masih lurus ke depan saat pemuda itu bersedekap dengan punggung bersandar. "Cewek juga nggak ngerti, kalo cowok nggak bisa peka gitu aja misalnya dikasih kode doang. Bahkan untuk yang pernah ikut pramuka."
Kuat sekali Seva mendengus. "Lo tuh mau ngajak gue berantem apa gimana sih?"
Deon mengerling ke arah Seva sebentar. Lalu kembali menyorot ke depan. "Gue cuma mau lo paham kalo cowok juga manusia."
Kuku Seva menggaruk kepalanya frustasi. Ia menghindari Rey bukan untuk mendapatkan ceramah dari Deon. Sebal, Seva berkata, "Lo kalo galau habis putus, jangan uring-uringannya ke gue dong! Kan, gue nggak salah apa-apa!"
"Gue nggak galau."
"Bullshit," cibir Seva.
"Buat apa galauin cewek sampah?"
Kontan Seva tergugu. Intonasi Deon terdengar serius walaupun wajahnya masih dihiasi mimik datar. Sepertinya pemuda itu tak suka karena Seva mengangkat topik hubungannya yang kandas beberapa waktu lalu. Seva jelas tahu alasan Deon memutuskan untuk berpisah, dan ia tidak ingin membuka luka saudaranya tersebut. Jadi, Seva memilih untuk tetap geming.
Lama kedua remaja itu saling tak bertukar suara. Mereka sibuk meladeni keping pikiran yang bergelayut manja. Sama-sama menatap ke arah langit malam yang cerah, kontras sekali dengan suasana hati yang Seva rasakan.
Beberapa menit masih berlalu dengan senyap sampai akhirnya Seva menumpukan kepala pada bahu Deon. Tangan gadis itu melingkar erat ke lengan pemuda di sebelahnya. Seakan mencari perlindungan dari sana.
Mengerti dengan keadaan, Deon ikut menempelkan pipinya ke puncak kepala Seva. Kemudian pemuda itu bertanya, "Ada masalah?"
Kalimat interogatif Deon menciptakan senyum lebar di wajah Seva. Terkadang pemuda itu memang menyebalkan. Namun, Seva tahu Deon akan selalu menjadi kakak yang baik. "Hm," gumam Seva, "nggak tahu juga deh."
"Kenapa?"
Sebelum menjawab, Seva semakin mendekap lengan Deon lebih kuat. "Lo ingat, nggak, dulu Om Rey pernah hampir nikah?"
"Iya, terus?"
"Gimana kalo dia belum bisa lupain mantannya?" Kata-kata itu langsung keluar dari mulut Seva dalam satu tarikan napas.
Deon tampak masih sangsi dengan pertanyaan Seva sebelumnya. "Bukannya mantan Mas Rey udah meninggal?"
Seva melepaskan dekapannya pada lengan Deon untuk menatap manik gelap pemuda itu. Juga menyalurkan kegelisahannya dari sana. "Emang dan itu poin pentingnya. Mereka nggak putus dengan kemauan sendiri tapi dipisahin sama takdir. Gimana kalo Om Rey masih punya rasa sama perempuan itu?"
Deon diam sementara. Menatap sepupunya lamat-lamat. "Jadi, ini yang bikin lo nggak mau angkat telepon Mas Rey?"
"Ya ...," jawab Seva. Kepalanya sedikit tertunduk. "Apa gue salah?"
Dengan gerakan cepat, Deon menggeleng. "Nggak, wajar kalo lo kepikiran tentang ini─" Deon masih memandang Seva dengan kedua alis yang bertaut, "─tapi bukannya selama ini kalian baik-baik aja. Kenapa lo baru khawatirnya sekarang?"
Seva menengadah. Mengerjap-ngerjap beberapa kali. "Gue baru inget sekarang ...," sahut Seva, pelan dan tak mau berbohong karena ia memang jujur. Seva tak mau mengatakan bahwa penyebab awalnya adalah Jevin. Ia benar-benar tidak suka dengan Jevin, tetapi bagaimanapun laki-laki ambisius tersebut adalah sahabat Deon. Sungguhpun demikian, Seva tak ingin hubungan kedua pemuda itu hancur karenanya walaupun Jevin sangat menjengkelkan.
Di hadapan Seva, Deon lagi-lagi bungkam seribu bahasa. Mungkin sedang berpikir tentang balasan yang tepat untuk pernyataan Seva. Membuat dara itu bimbang dengan kalimat yang akan Deon sampaikan. Biasanya pemuda tersebut selalu punya kata-kata yang menyenangkan hati. Kendati juga tak jarang memperburuk suasana di dalam dada.
"Gue nggak tahu dan nggak bisa beri pendapat apa-apa," ucap Deon akhirnya, "karena gue nggak terlalu dekat sama Mas Rey, tapi kalo emang masalah ini ganggu pikiran lo, mending kalian bahas sebelum munculin masalah baru yang bikin semuanya makin runyam."
"Oke." Hidung Seva menghela napas keras-keras. Masih tak tenang. "Tapi gimana kalo jawabannya nggak sesuai ekspektasi gue? Gue harus ngapain, De?"
"Dalam artian baik atau buruk?"
"Ya, buruklah ...," cicit Seva sangat pelan.
"Tergantung sama lo dan seberapa besar harapan yang lo punya untuk hubungan kalian. Kalo lo masih mau sama-sama, gue saranin, jalanin aja, toh mantannya udah nggak ada. Nggak bakal berpotensi jadi pelakor. Hantu nggak bisa ngambil pasangan orang."
( WaF - 35. Angin Malam Selalu Menyejukkan )
Pendek bgt. Gtw deh. Padahal mood nulis tapi gbs nyusun diksi dengan bener. Suka herman. Kayaknya otak ini butuh piknik.
The simple but weird,
MaaLjs.19 Oktober 2019 | 21:59
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...