Indra pendengar yang dimiliki oleh manusia mampu menangkap frekuensi bunyi dari dua puluh hertz hingga dua puluh kilohertz. Seperti telinga Rey yang melakukan kerjanya saat ini. Kendati kondisi dapur yang berisik akibat dentingan alat masak, Rey masih dapat mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat, laki-laki itu merogoh benda tipis tersebut. Sementara satu tangannya tetap sibuk mengaduk-aduk makanan di atas penggorengan.
"Halo?" sapa Rey. Suaranya kentara dengan tanda tanya, karena tadi ia tak sempat melihat nama kontak si penelepon.
"Halo, Om Rey ...."
Lirihan dari seberang telepon membuat Rey menghentikan kegiatannya. Pria itu mematikan kompor. Meminta asistennya untuk melanjutkan masakan yang tadi ia tangani. Kemudian, Rey memasuki ruang pribadinya agar menghindari keributan.
"Seva?" tanya Rey agak skeptis. Antara percaya dan tidak bahwa orang di seberang sana memanglah gadisnya.
Sejak hari di mana Seva menginap, Rey tidak pernah melihat dara itu lagi. Ia sudah mencoba menghubungi dan menanyai kabar. Namun, tak dijawab. Bahkan ketika Rey ke rumah Seva dan menunggu selama beberapa jam, batang hidung perempuan tersebut tetap tidak kelihatan. Seva benar-benar menghindarinya selama dua hari ini. Dan Rey masih belum bisa menebak alasannya.
"Iya, ini Seva." Suaranya masih terdengar pelan dan lemah.
Alis Rey seketika menukik. Kepanikan menyerangnya karena mendengar bagaimana Seva berbicara. "Kamu nggak pa-pa?"
Lama tak ada sahutan sampai gadis itu melempar pertanyaan alih-alih menjawab, "Om Rey lagi kerja? Bisa ketemu, nggak?"
Rey menghela napas pelan. Agak tak terima karena Seva tidak menjawab pertanyaannya. Akan tetapi, juga tak mau memaksa. "Bisa, tapi pekerjaan saya lagi banyak. Sekitar setengah jam lagi, sekaligus istirahat makan siang, gimana?"
"Oke, kita ketemu di gedung kosong, ya."
"Kenapa nggak di restoran?" tanya Rey seraya berjalan ke pintu ruangannya. Bersiap-siap keluar karena ia tahu sebentar lagi acara menelepon usai. "Nanti sekalian makan siang."
"Seva maunya di sana ...."
"Ya, udah." Rey menurut. "Mau saya bawain makanan?"
"Nggak usah."
( ⚘ )
Rey tak menepati ucapannya. Laki-laki itu terlambat hampir dua puluh menit dari yang ia janjikan. Ketika sampai di atap gedung, Rey sudah melihat Seva duduk di sofa. Dengan langkah lebar, Rey menghampiri dara tersebut. Sekaligus berharap Seva tidak marah kerena menunggu lama.
"Seva." Rey mendudukkan diri di sebelah Seva yang tampak tenang di tempatnya. Napas pria itu sedikit tersengal karena berlari menaiki tangga. "Maaf, saya telat. Tadi banyak pengunjung."
Sejurus kemudian, Seva menoleh dengan raut muka datar. Wajahnya sangat pucat walaupun ada sentuhan riasan tipis di sana. "Nggak pa-pa."
Menyadari bahwa keadaan gadis di depannya tidak baik-baik saja, Rey merangsek sangat dekat. Tangannya menyentuh kening Seva pelan. "Badan kamu panas banget," ucap Rey penuh kecemasan.
Tak ada jawaban dari Seva. Ia hanya menatap Rey yang khawatir dengan keadaannya. Ekspresi dara itu bahkan masih setenang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...