( WaF - 34. Lawan Dalam Rana yang Luas )

765 123 17
                                    

Musuh adalah muradif dari lawan dalam rana yang luas. Sejak Seva menjadi miliknya dan Jevin tetap tak gentar, Rey menyatakan bahwa ia dan pemuda itu sedang dalam medan perang. Kala melihat Jevin yang juga hadir di pesta kejutan ulang tahun Deon, Rey tahu bahwa ia harus berantisipasi agar lelaki tersebut tak mendekati Seva─jika Jevin memang masih ingin mencari masalah dengannya. Namun, sialnya perhitungan Rey meleset setelah Seva meminta izin mengambil makanan.

Dari kejauhan, Rey dapat melihat Jevin mendekati gadisnya. Rey semakin geram ketika pemuda tersebut malah menahan Seva yang hendak pergi. Sebenarnya Rey bisa saja menghentikan kejadian itu jika kakek dan nenek Seva tak sedang berbicara dengannya. Rey merutuk di dalam hati. Sembari mencoba berfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang para lansia tersebut lontarkan padanya, Rey terus memantau Seva dan Jevin.

Rey baru bisa pamit undur diri sebentar dari tempatnya setelah Seva memasuki rumah. Dengan langkah cepat, pria itu mengejar Seva yang juga berjalan tak kalah laju. Saat gadis tersebut memasuki toilet, Rey menunggu di depan pintu tanpa suara.

Kecemasannya membuncah ketika mendengar isakan kecil dari dalam. Suara itu sudah familier di telinga Rey dan ia yakin, di dalam sana Seva sedang menangis. Kejengkelan menjalar dalam diri Rey karena tahu musabab air mata itu adalah Jevin. Sebelum berkonfrontasi dengan lelaki tersebut, Seva masih tampak baik-baik saja.

Beberapa menit berlalu sampai akhirnya Seva keluar dengan mata membengkak. Gadis itu jelas kelihatan terkejut dengan kehadiran Rey. Matanya sedikit membeliak seperti orang yang tertangkap bahas melakukan kesalahan.

"O-Om─" Seva cepat-cepat berdeham sebab suaranya masih terdengar parau, "Om ngapain di sini?"

Kenanaran tersirat jelas dari tatapan Rey. Pria itu juga tak mau repot-repot menutupinya. "Kamu baik-baik aja?"

Seva mengalihkan pandangannya dari manik Rey. "Iya ...?" sahut Seva yang nadanya lebih menjurus ke pertanyaan daripada pernyataan.

Hidung Rey mengembuskan napas berat. Sedikit tak terima karena Seva menutupi sesuatu darinya. Padahal ia jelas-jelas mendengar gadis itu menangis barusan. "Beneran?"

"Iya," jawab Seva dengan kata yang sama tapi lebih mantap. Ia masih tak mau memandang Rey ketika bertanya, "Om mau ke toilet juga?"

Selama beberapa detik, Rey menyelidik Seva dengan penglihatannya. Lalu menautkan jarinya dengan milik dara itu seraya berkata, "Nggak."

Belum selangkah mereka tempuh, Seva melepaskan kaitan tangan mereka. Mengakibatkan Rey menatapnya penuh tanya. "Se-Seva mau ke kamar sebentar," ucapnya cepat.

"Oke, saya tunggu di sini."

"Nggak!" Sahutan Seva terdengar cukup nyaring. Membuat raut wajah Rey menampilkan semakin banyak kalimat interogatif. "Ma-maksud Seva, nggak usah. Om balik aja ke halaman belakang."

"Nggak pa─"

"Seva cuma sebentar kok," ujar Seva lalu langsung pergi dari hadapan Rey sebelum pria itu mengeluarkan suara barang selisan.

Rey menghela napas keras. Terpaksa menuruti perkataan Seva karena tak mau berdebat. Ia kembali duduk di kursinya dengan mata yang memperhatikan rumah. Menunggu datangnya Seva. Kemudian, sorotan Rey bergerak ke arah Jevin yang berbincang bersama Deon dan satu temannya yang lain.

"Rey." Panggilan dari Endah─nenek Seva dari sebelah ayah─mengalihkan tatapan Rey. Wanita tua itu tersenyum hangat. "Barusan Nenek dengar dari mamimu kalau dulu kamu pernah hampir nikah, ya?"

Pertanyaan itu membuat sekujur tubuh Rey beku untuk beberapa saat. Sampai akhirnya laki-laki tersebut menoleh ke arah Tami yang juga agak terkejut dengan pertanyaan Endah. Henri─yang duduk di sebelah Endah─juga tampak menegur ibunya pelan.

Dengan senyum sopan, Rey membalas, "Iya, Nek."

"Kenapa gagal? Itu yang bikin kamu kerja di Italia?" Kali ini Sarah, ibu Yana, yang bertanya. Seperti Henri, Yana juga memperingati ibunya. Namun, dengan terangan-terangan Sarah tak acuh. Lansia yang satu ini memang terlihat posesif dan protektif terhadap cucunya.

Bersamaan dengan Rey yang hendak menjawab, Seva kembali. Gadis itu menempatkan dirinya di kursi yang tadi ia pakai. Penampilan Seva tampak lebih rapi dibanding sejak keluar dari toilet tadi.

Rey menatap Seva yang berada di sebelahnya sebentar. Lalu menatap Sarah yang masih menuntut jawaban. Mau tak mau Rey menyahut, "Di hari pernikahan, calon istri saya kecelakaan dan dia nggak bisa selamat," Rey tersenyum tipis dengan getir saat menyadari pandangan Seva tertuju padanya, "dan iya, saya ke Italia karena mau lupain dia. Banyak kenangan kami di sini dan saya rasa, saya nggak bisa ngeikhlasin dia kalau saya masih di Indonesia saat itu."

"Apa kamu udah bisa lupain─"

"Udah." Bukan, bukan Rey yang memotong ucapan Sarah, melainkan Seva. Dengan bibir yang menahan cebikkan, gadis itu menatap neneknya dengan serius. "Jangan ngomongin ini."

( ⚘ )

Akibat menghadiri pesta ulang tahun Deon, Rey kembali izin dengan alasan acara keluarga. Oleh karena itu, sekarang tubuhnya sudah dapat berdekapan dengan ranjang lebih awal. Bukannya senang, Rey malah bimbang. Sejak obrolan dengan topik tak mengenakan tadi, Seva tidak berbicara padanya sama sekali. Gadis itu hanya menyuruhnya untuk hati-hati sebelum pulang. Bahkan sampai sekarang, tak ada kabar dari Seva. Padahal biasanya dara tersebut akan mengirimkan pesan yang berisi: "Om udah sampai rumah belum? Kalo udah, kabarin, ya."

Setelah berpikir beberapa detik, Rey memutuskan untuk mengirim pesan terlebih dulu. Mungkin Seva sedang sibuk membereskan rumah pascaacara.

Gaufrey

Saya udah sampe di rumah.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Dua puluh menit.

Dua puluh lima menit.

Sudah selama itu Rey menunggu jawaban. Namun, masih nihil. Membuat Rey menghela napas berat. Mungkin ia akan maklum sementara jika Seva tidak mau cerita, tetapi jika gadis itu juga menghindarinya, Rey jelas tak dapat terima begitu saja. Ia butuh penjelasan.

Gaufrey

Kamu lagi ngapain?

Udah tidur?

Saya telepon, ya.

( WAF - 34. Lawan Dalam Rana yang Luas )

Klimaks udah di depan mata~

The simple but weird,
MaaLjs.

19 Oktober 2019 | 01:15

What a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang