Jam makan siang adalah waktu di mana manusia mengisi kembali energi yang mereka keluarkan sejak pagi. Menjelang itu, Rey akan disibukkan dengan pekerjaannya di dapur B&J HR. Sebagai kepala koki, ia harus bolak-balik ke seluruh bagian dapur untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Tak jarang beberapa koki dari meja yang berbeda memanggilnya. Mereka ingin makanannya dicek oleh Rey sebelum tersaji di meja pengunjung.
Seperti saat ini, seorang koki yang bertugas memasak rendang memanggilnya. Hari Senin mempunyai tema makanan Asia. Oleh karena itu, pada hari ini semua makanan terkenal dari benua terbesar di dunia tersebut akan menjadi menu utama.
"Ada yang kurang, Chef?" tanya koki pembuat rendang setelah Rey menyicip masakannya.
Rey tersenyum. "Semuanya udah pas tapi kayaknya kamu lupa pakai pala, ya?"
Koki muda itu terdiam sesaat. Tangannya juga menyendok rendang yang ia buat dan mencicipnya sendiri. Lalu, ia menepuk jidat dengan keras. "Ah, iya, saya lupa nambahin pala," ucapnya dengan senyum tipis. "Maaf, Chef, dan makasih udah ngingetin."
Anggukan kepala Rey tertampilkan, bersamaan dengan senyumnya yang tak sirna. "Sama-sama. Lain kali jangan sampai kayak gini lagi."
"Siap!"
Setelah mendapatkan jawaban, Rey beranjak ke arah koki yang membuat pad thai. Ia memperhatikan setiap gerakan gesit koki itu. Sepertinya sudah sangat ahli dengan menu yang dimasak.
Dering ponsel Rey tiba-tiba menginterupsi. Dirogohnya benda pintar itu dari saku celana. Ia mengernyitkan dahi ketika melihat nama Seva tertera sebagai penelepon. Tanpa membuang waktu, Rey segera menyingkir dari dapur. Ia masuk ke dalam ruang pribadinya dan mengangkat telepon di sana.
"Halo."
Terdengar isakan dari seberang. "Halo, Om Rey."
Kerutan di dahi Rey semakin dalam. Ia mendudukkan diri di kursinya. "Kamu nangis?"
"Tolong Seva," ucap gadis itu tanpa memedulikan pertanyaan Rey.
Mendengar itu, Rey langsung berdiri. Matanya membola. Jantungnya mendadak tak karuan. "Ada apa? Kamu kenapa?"
Tangisan Seva semakin nyaring. Gadis itu tersedu selama beberapa menit kemudian berkata, "Pokoknya datang aja, ya. Nanti Seva share location."
"Oke," sahut Rey cepat.
Sambungan telepon terhenti. Rey segera mengganti pakaiannya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Seva dan Rey rasa ia harus segera datang. Gadis itu sepertinya dalam keadaan yang gawat. Tangisannya terdengar sangat panik, membuat Rey terjangkit.
( ⚘ )
Wajah Rey datar setelah mendengar penjelasan Seva. Ia menghela napas dan menatap gadis itu tak percaya. Seva menangis hanya karena mobilnya mogok. Lebih tepatnya, ia takut terlambat masuk kelas karena dosen kali ini sangat garang.
Seva sudah selesai mendongeng. Sekarang ia juga diam. Menatap ke arah lain, tanpa mau membalas pandangan Rey. Warna muka gadis itu memerah. Serasi dengan matanya yang bengkak.
"Ayo, saya antar," ucap Rey akhirnya. Ia berjalan lebih dulu ke mobilnya. Seva mengikuti dari belakang dengan langkah pelan. Rey mengembuskan napas. Ia berhenti dan berbalik sebentar. "Kamu bakal beneran telat kalau jalan selama itu."
Mendengar dengan baik setiap kata yang Rey keluarkan, Seva melaju. Bahkan ia sampai lebih dulu dan masuk ke dalam mobil Rey tanpa permisi. Membuat Rey kembali mengeluarkan napasnya dengan berat.
"Mobil kamu udah dikunci?" tanya Rey setelah memasuki mobilnya.
"Udah."
Rey mulai menghidupkan mesin mobil. "Oke, nanti saya hubungi bengkel terdekat supaya ngederek mobil kamu."
Seva tak menjawab dengan kata. Kepalanya naik-turun sebagai respons nonverbal. Ia menurut saja tanpa membantah sama sekali.
Kendaraan beroda empat itu membelah jalan. Di dalamnya suasana sunyi mendominasi. Tak ada yang berbicara di antara Rey dan Seva. Seakan rasa canggung mengambil alih, keduanya tetap bungkam tanpa kata. Hanya terdengar suara mesin mobil memenuhi.
"Tadi ...." Seva yang lebih dulu memalu keheningan. Dengan maksud memugar keadaan agar sehangat mentari pagi yang menerangi awang-awang. "Pas Seva telepon, Om lagi ngapain?"
"Kerja," lugas Rey. Tidak banyak bicara karena juga tak tahu cara berbasa-basi kali ini. "Ini hari Senin."
"Om ..., marah sama Seva?" tanya gadis itu hati-hati, seperti menganggap ucapannya adalah belati.
Rey menatap Seva sebentar. Lalu, kembali berfokus pada jalanan yang membentang. "Kenapa saya harus marah sama kamu?"
"Karena Seva udah ganggu jam kerja Om ...?" Pernyataan itu lebih terdengar seperti pertanyaan. Seva sendiri bahkan tidak dapat membedakannya.
Lama Rey tak menjawab. Pria itu seperti sedang berpikir dan memilah kata yang pas untuk dilontarkan. "Saya nggak marah tapi, iya, saya merasa terganggu."
"Maafin Seva." Terdengar penyesalan yang kentara dari suara itu. Seva tak dapat menyembunyikannya. Dua kata tadi terdengar sangat suram. "Seva tahu, Seva berlebihan. Seva panik. Lain kali Seva janji, nggak akan kayak gini lagi."
Sedikit senyum Rey terbit. "Bagus kalau kamu sadar sama kesalahan kamu."
Kini, Seva yang tak kunjung bersuara. Hingga ia berkata dengan sangat pelan dan penuh rasa skeptis, "Seva kekanakan, ya, Om."
Alis Rey menukik. Tangannya meremas kemudi pelan. "Kenapa kamu mikir gitu?"
Tawa satire terdengar dari arah Seva. Yang Rey tahu, ditujukan untuk sang pemiliknya sendiri. "Rasanya Seva selalu nyusahain Om Rey. Sedikit-sedikit nangis," gadis itu menjeda ujarannya, "Seva jadi merasa nggak pantas buat Om Rey."
Mendadak kebingungan menyapa Rey. Menghampiri lalu menempatkan diri di otaknya. Membuat Rey bersusah payah memikirkan tanggapan yang tepat untuk Seva. Rey menelan ludahnya. Ia berdeham sekilas. "Mungkin emang benar kamu masih kekanakan tapi saya nggak pernah nyesal milih kamu. Saya nggak masalah kalau kamu sering nangis, saya juga nggak keberatan kalau kamu masih bersikap kayak anak kecil. Saya ngerti kamu masih remaja. Asalkan kamu mau berubah untuk jadi pribadi yang lebih dewasa. Itu udah cukup buat saya. Jadi, jangan pernah mikir kalau kamu nggak pantas buat saya."
Isakan kecil terdengar dari arah sebelah Rey. Ia kembali menoleh ke arah Seva yang menitihkan air mata. Namun, kali ini wajahnya dihiasi senyuman bahagia yang terlihat lega. Rey jadi ikut mengurvakan bibirnya.
"Maaf, Seva nangis lagi," kata Seva, pelan karena suaranya bergetar. "Seva nggak sedih. Seva terharu dan Seva nggak bakal bilang kayak gitu lagi. Seva janji, bakal lebih dewasa lagi."
Tidak ada respons dari Rey. Akan tetapi, senyumnya semakin mengembang. Dari sana, ia tahu bahwa Seva merupakan gadis berhati lembut yang mudah menangis karena hal-hal kecil.
"Seva juga nggak nyesel nerima Om. Makasih udah datang di kehidupan Seva."
( WaF - 18. Mengisi Kembali Energi yang Mereka Keluarkan )
Ululu cheesy tapi gemay!
Hehe, udah lama nggak update. Kenapa? Karena M sakit selama seminggu ini pfft. Benar-benar nggak kuat buat mikir. Bangun cuma makan, nonton TV tapi nggak fokus, dan ngenikmatin rasa sakit. Bahkan sampe sekarang belum sembuh total sebenarnya. Duh, waktu-waktu terkelam dalam tahun ini.
Oh, iya, tapi M senang karena teaser-nya Lucas sama Mark di SuperM udah keluar. MV Feel Special juga! Ya ampun tidak sabar melihat kakak-kakakQ!
Oke, deh. See you next chapter.
The simple but weird,
MaaLjs.24 September 2019 | 01:34
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...