Terkena migrain selama seminggu lebih itu sangat menyiksa. Rey merasakannya. Bahkan di saat melakukan makan malam, ia harus mengerjapkan mata beberapa kali. Kantuk menyerangnya akibat efek dari obat pereda nyeri. Rey terpaksa mengkonsumsi bahan kimia tersebut agar sakit kepalanya hilang.
Penyebab Rey selalu terkena migrain antara lain: pekerjaan, paksaan menikah, dan ide gila yang masih terngiang di dalam kepalanya. Jika hal-hal itu terus menari di sana, Rey yakin, ia akan mengalami gangguan jiwa sebentar lagi. Oleh karena itu, Rey memutuskan untuk membeli apartemen. Ia ingin kembali merasakan hidup mandiri seperti saat di luar negeri.
Sebenarnya, dulu Rey sudah pernah membeli rumah. Namun, setelah insiden yang menjungkirbalikkan hidupnya terjadi, ia menjual hasil tabungannya itu.
"Yakin, Rey?" tanya Ardi selepas Rey memberitahukan keinginannya.
Rey mengangguk mantap. "Iya, Pi. Aku udah dapat apartemennya. Segedung sama punya Jaya karena dia yang kasih info. Aku juga udah bayar separuh. Setelah gaji pertama aku di B&J keluar, nanti aku lunasin."
"Jaya teman SMA kamu?"
"Iya."
Dengusan Tami terdengar, membuat kedua pria di ruangan itu, dan juga Bia memberi perhatian padanya. "Kenapa sih harus pindah-pindah segala? Nggak suka tinggal sama kami lagi?"
"Bukan gitu, Mi," jawab Rey, sopan. "Aku nggak mau nyusahin Papi sama Mami lagi."
Wajah Tami semakin cemberut. "Kami nggak merasa disusahin kok! Iya, kan, Pi?"
Ardi berdeham. "Iya, tapi Rey udah dewasa, Mi. Dia berhak punya keputusan. Apa pun penyebabnya, Papi yakin, Rey punya alasan dan itu pasti demi kebaikan," sahutnya penuh kebijakan.
Tekukan muka Tami semakin menjadi. Dirinya tahu sedang kalah sekarang. Ia juga akui apa yang dikatakan Ardi memang benar. Akan tetapi, ia masih menginginkan Rey di sini. Sudah lima tahun anaknya itu jauh.
"Lagian aku masih di Indonesia, Mi, bukan ke luar negeri kayak dulu. Kita bisa ketemu kapan aja."
Sedari tadi diam, Bia menyentuh tangan Rey. "Kapan-kapan aku boleh tidur di sana juga, Mas?"
"Boleh dong," jawab Rey dengan senyum hangat.
Bia ikut tersenyum lalu terkekeh pelan. "Aku setuju aja kalau gitu."
"Ya, udah. Oke." Akhirnya batu di dalam diri Tami hancur. Ia mengizinkan. Wanita itu melanjutkan makan. Namun, beberapa detik kemudian, menatap Rey lagi. "Tapi, kamu udah dapat kandidat?"
Rey bingung. "Kandidat apa?"
"Perempuan. Pasangan kamu."
Sakelar penderitaannya dihidupkan. Rey mencoba sabar. "Belum .... Aku sibuk kerja."
"Kebetulan banget, ada temen Mami yang lagi nyari suami untuk anaknya!" seru Tami gembira. Seakan lupa bahwa beberapa menit lalu sedang marah.
Sontak saja suara batuk Rey memenuhi ruangan. Ia tersedak nasi. Dengan berbaik hati, Bia yang duduk di sebelahnya segera mengulurkan air. "Makannya pelan-pelan, Mas."
Rey mengambil air yang diberikan oleh Bia. Lalu, meneguknya sampai tandas. Ia tersedak karena terkejut.
"Namanya Siska. Cantik, lho, Rey. Dia juga punya restoran besar─waktu itu Mami sempat makan di sana. Umurnya udah tiga puluh tahun. Ya, nggak jauhlah selisihnya dengan kamu." Tami mengatakannya sembari menggeser ponsel ke arah Rey. Di layar benda persegi panjang nan tipis itu, terpampang foto seorang wanita dewasa.
Rey hanya bisa diam di tempat. Pandangannya datar saat pada foto wanita tersebut. Bukannya jual mahal, tetapi Rey memang tak tertarik dengan perempuan yang lebih tua. Rey mengaku bahwa Siska memang cantik. Namun, tetap saja bukan tipenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...