( WaF - 19. Manusia Adalah Makhluk Sosial )

773 164 39
                                    

Sudah kodratnya bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tidak bisa hidup tanpa yang lain. Tadi Seva menunjukkan sifat alami dari hukum alam itu. Ia perlu bantuan ketika mobilnya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Dari Deon sampai Bia sudah Seva coba hubungi tapi tak ada yang menjawab. Kemungkinan mereka sedang sibuk dengan kelas masing-masing. Ingin menelepon Orlin untuk meminta bantuan pun rasanya percuma. Sahabatnya yang satu itu bahkan tak mempunyai kendaraan. Oleh karena itu, Seva memilih alternatif yaitu, Rey. Ia tahu Rey pasti sedang bekerja. Akan tetapi, pria itu terlalu berbaik hati─menurut Seva─mengangkat teleponnya sehingga mau tak mau ia harus merepotkan Rey.

Seva jadi merasa tak enak dan untung saja Rey segera memperbaiki suasana hatinya. Seva senang. Teramat sangat karena pria itu mampu menerbangkannya, alih-alih ikut mencemooh seperti yang Seva lakukan pada dirinya sendiri. Membuat hari Seva yang terlampau buruk terasa lebih baik.

Keterlambatan yang tadi Seva cemaskan juga tak sempat terjadi. Dosen garangnya telat selama beberapa menit sehingga Seva dapat menyelamatkan diri. Hal itu membuat suasana hatinya semakin baik. Bahkan aura kebahagiaan Seva tak kunjung padam.

Kesenangan itu bertahan sampai seorang lelaki yang Seva hindari belakangan ini malah muncul di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Jevin? Saat Seva baru menyelesaikan kelas terakhirnya, pemuda itu menghampiri dengan senyum lebar.

"Hai," sapa Jevin.

Agak enggan Seva menjawab, "Hai."

"Lo bawa mobil?"

Kepala Seva menggeleng. "Nggak."

Dehaman Jevin terdengar. Ia sedikit menyingkir dari mobil yang ada di belakangnya. Seperti memberi isyarat kalau Seva boleh memasuki kendaraan itu. "Apa kita bisa ngomong sebentar? Ada yang mau gue bicarain. "

Kedua bibir Seva terlipat. Gadis itu tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Jevin untuk beberapa saat. "Ngomongin apa?"

"Banyak, termasuk tentang kemarin."

Susah payah Seva menelan salivanya. Ingin menolak tapi ia tak tahu caranya. Mau menerima pun Seva sangat enggan. Jadi, ia diam lagi.

"Gue ngerti kalau lo marah tapi, please, kasih gue kesempatan buat ngomong," kata Jevin lagi karena tak lekas dapat jawaban dari gadis di depannya.

Baru saja hendak menjawab, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Seva mengurungkan niatnya. Ia mengambil benda persegi panjang itu untuk menemukan sebuah pesan dari Rey.

Gaufrey

Saya udah di jalan ke kampus kamu. Sebentar lagi sampai.

Lantas senyum Seva menunjukkan eksistensinya. Ponsel itu kembali ke tempat semula ketika Seva menjatuhkan atensi pada Jevin lagi. "Ngomongnya di sini aja."

"Gue mau ngomong empat mata, Sev. Sebentar aja kok. Habis itu gue bakal antar lo pulang," sahut Jevin cepat.

"Gue nggak bisa," tutur Seva. "Gue udah mau dijemput."

Jevin menghela napas. "Suruh nggak usah jemput. Gue janji bakal antar lo sampe ke rumah. Tanpa lecet sama sekali."

Lagi, Seva menggeleng. Bibirnya maju ke depan karena mengerucut. "Nggak bisa, Vin. Orangnya udah mau sampe."

"Emangnya siapa yang bakal jemput lo? Supir doang, kan?" tanya Jevin yang sangat kukuh. Apa yang ingin dibicarakannya seperti urusan hidup dan mati. Sangat krusial.

"Bukan!" Seva menyanggah cepat. "Itu pacar gue ...."

Dua kata terakhir Seva mampu membuat rahang Jevin jatuh. Ekspresinya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Intinya menggambarkan keterkejutan tapi sangat dramatis─menurut Seva. Ia berharap agar tak ada satu pun serangga yang lewat dan masuk ke mulut Jevin. Bisa saja pemuda itu tersedak dan mati di tempat. Seva tentu saja tak mau bertanggung jawab. Jelas itu bukan salahnya─hanya sedikit saja salahnya.

Jevin kembali berkata setelah berdrama, "Nggak usah bohong, Sev. Kemarin lo bilang nggak mau pacaran tapi langsung tunangan."

"Gue nggak bohong."

"Jadi, yang kemarin apa?" tanya Jevin, ambigu. Warna wajahnya berubah menjadi merah padam. "Bilang aja kalau lo nggak suka sama gue. Jangan jadiin bokap lo kambing hitam."

Muka Seva kontan tertekuk. Tak terima dengan segala ucapan Jevin. "Gue emang pacaran tapi laki-laki ini berani datang ke rumah buat ngelamar gue. Udah dipastiin itu bakal terjadi dalam waktu dekat. Tujuan kami sama, bukan cuma main-main."

Jevin berdeham kembali. Mimiknya sudah kelihatan sangat tak enak. Kalimat Seva tadi menyinggung egonya sebagai laki-laki. Akan tetapi, Seva kelihatan tak peduli. Jevin yang lebih dulu memporakporandakan suasana hatinya yang lumayan bagus.

Suara mesin mobil yang berhenti terdengar kemudian. Di depan mobil Jevinlah kendaraan Rey tepat berhenti. Kejengkelan yang tadi Seva rasakan seakan lumer. Ia bersyukur Rey datang di waktu yang tepat.

"Seva," panggil pria itu setelah turun dari mobilnya. Ia tak mendekat. Hanya berdiri di dekat daun pintu kendaraan tersebut seraya memperhatikan.

"Gue cabut duluan. Udah dijemput," pamit Seva tanpa menatap Jevin.

Gadis itu mulai melenggang sampai langkahnya kembali terhenti. Jevin menarik pergelangan tangannya. Terpaksa Seva kembali berbalik. Ia tak berkata, cuma menampilkan raut wajah penuh tanya.

"Sorry."

Permintaan maaf itu hanya Seva balas dengan anggukan. Pergelangan tangannya yang dikungkung Jevin segera ia lepaskan. Kemudian, anak perempuan itu melanjutkan niatnya. Seva masuk ke mobil Rey tanpa suara. Si pemilik juga melakukan hal yang sama sampai kendaraan beroda empat itu dijalankan.

"Itu tadi Jevin? Cowok yang mau ngegebet kamu?"

Spontan kepala Seva tertoleh ke arah Rey yang bertanya. "Dari mana Om tahu?"

"Bia pernah cerita kalau kamu didekatin cowok yang namanya Jevin. Saya rasa dia orangnya."

"Iya, dia orangnya." Seva menyahut dengan lesu. Akan tetapi, sedikit senyumnya terlihat. Ia agak senang karena Rey menyelamatkannya dari situasi tak mengenakan tadi.

"Kalau mau, kamu boleh cerita."

Punggung Seva menyandar ke jok. Ia masih menatap Rey yang sibuk menyetir. "Bia pernah cerita kenapa Seva nggak mau milih Jevin? Padahal dia datang di waktu yang tepat."

"Pernah."

"Dia ngelakuin hal yang bikin Seva nolak dia lagi hari ini ...." Kini tatapan Seva berpindah ke jalanan. Ia menerawang kemudian mengembuskan napas berat. "Seva nggak suka omongannya kalau lagi emosi. Bikin Seva bener-bener tersinggung dan rasanya pengin jorokin dia ke jurang kalau aja itu nggak dosa. Jadi, Seva rasa dia nggak cocok aja sama Seva. Om tahu, kan, kayak api sama api. Nggak bisa disatuin. Nanti jadinya meleduk."

Rey mengangguk-anggukkan kepalanya. "Saya ngerti, tapi kalau dia nggak suka nyinggung kamu, apa kamu bakal terima?"

"Iya, kalau dia juga kayak Om." Seva tersenyum. "Berani serius dan punya tujuan yang sama kayak Seva."

( WAF - 19. Manusia Adalah Makhluk Sosial )

Gemes banget tau nggak sih?!

The simple but weird,
MaaLjs.

24 September 2019 | 03:04

What a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang