( WaF - 39. Ragam Suara yang Berirama )

790 120 23
                                    

Lagu merupakan ragam suara yang berirama. Nyanyian-nyanyian inilah yang selalu Seva dengarkan saat suasana hatinya buruk. Ia akan memutar lagu-lagu dengan alunan pelan atau yang memiliki makna seperti keadaannya. Semua itu Seva lakukan agar seluruh emosinya tersalur. Mengakibatkan tangisnya menderas seperti seorang pelakon yang paling menyedihkan di melodrama.

Bia─dengan segala pengetahuannya tentang psikologi─sering bilang, jika sedang bersedih, maka jangan mendengarkan alunan musik yang menambah kadar emosi. Akan tetapi, Seva tak pernah menggubrisnya sama sekali. Tatkala hatinya terus merasa diremas, Seva perlu pendobrak tangis. Yang berguna sebagai pemeras air mata nelangsanya agar segera keluar tak bersisa.

Dengan beralibi demam yang dideritanya selama beberapa hari, Seva tak pernah mengeluari kamar sejak pulang dari gedung kosong tadi siang. Seva sadar ketika ia memutuskan hubungannya dengan Rey. Namun, ia juga butuh waktu sendiri untuk meredakan rasa sesak yang melanda dadanya.

Banyak kenangan yang ia lewati bersama Rey selama sebulan lebih sebagai pasangan. Tidak mudah melupakan semuanya begitu saja, sama seperti yang Rey rasakan untuk Atika. Seva mencoba mengerti mengingat lamanya mereka berhubungan. Oleh karena itu, ia memilih untuk melepaskan. Dengan maksud membiarkan Rey menggunakan waktunya sebaik mungkin agar terpisah dari bayangan masa lalu. Sebab Seva yakin, jika Rey memang untuknya, pasti pria itu akan kembali. Di saat seperti ini, motivasi-motivasi kecil dalam dirinya tumbuh walaupun tak sebanyak harapan yang layu.

Ketukan pada pintu menggema sejurus kemudian. Seva berusaha abai. Namun, si pengetuk seakan tak mau kalah. Kian detiknya, suara daun pintu yang beradu dengan kepalan tangan makin nyaring. Membuat Seva akhirnya mau tak mau menyerah. Usai mengusap muka dan memastikan bahwa penampilannya tak terlalu buruk, Seva membuka penutup kamar itu.

"Turun sekarang atau gue seret ke bawah?"

Seva meringis mendengar ancaman Deon. Tanpa mengeluarkan satu kata pun, Seva membanting pintu. Akan tetapi, gerakan Deon lebih cepat. Pemuda itu berhasil menahannya lalu melesat masuk ke dalam ruang pribadi Seva.

Seva merengut. "Gue nggak mau."

"Jadi lo mau gue seret ke bawah?" tanya Deon masih dengan nada mengancam. Wajah dan tatapannya dibuat semenakutkan mungkin, tetapi tak mengintimidasi Seva sama sekali.

"Keluar dari kamar gue," usir Seva, "gue mau sendiri."

"Disuruh minum obat nggak mau. Disuruh makan juga susah. Lo mau sakit terus sampe mampus?"

Dibalik sikap Deon yang terkadang humoris, laki-laki itu mempunyai segudang kalimat tajam yang menyayat hati. Biasanya Seva kebal karena tahu bahwa Deon sedang dilingkupi amarah. Namun, sekarang Seva tengah sensitif. Senoktah kegusaran pun tak pelak hatinya serap dengan baik.

"Katanya, kuliah nggak kuat, tapi tadi Mama bilang, lo keluar tanpa izin. Sebenarnya lo sakit beneran atau nggak?"

Lalu pertahan Seva runtuh. Bibir Seva mencebik ketika bulir-bulir air mulai mengarungi wajahnya. Sedu sedan Seva tak tertopang. Membuat suara-suara kecilnya memenuhi ruangan.

Deon di depannya langsung terdiam. Kedua alis pemuda itu berkerut heran. Aneh melihat Seva menangis hanya karena dimarahi olehnya. Sebab terkadang, gadis tersebut memilih diam atau bahkan melawan. Melihat kejanggalan ini, Deon mendadak bersimpati. Ia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada sepupu sekaligus adik angkatnya.

Pintu yang masih sedikit terbuka segera Deon rapatkan. Ia mendekati Seva dan memegang bahu dara di hadapannya dengan pelan. "Maaf, Sev."

Permintaan maaf Deon mengakibatkan tangis Seva menjadi. Gadis tersebut meringsut masuk ke dalam dekapan Deon. Memeluk tubuh saudaranya dengan erat.

What a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang