Jika seseorang baru mendengar pernyataan cinta dari lawan jenis dan masih ragu untuk menerimanya, maka jawaban pun akan digantungkan. Namun, menurut Seva, hal tersebut malah semakin memperbesar kebingungan.
Setelah Jevin mengungkapkan perasannya malam itu, Seva tak langsung menjawab. Jevin juga tak keberatan kalau Seva memilih untuk memikirannya terlebih dahulu, asal jangan terlalu lama.
Tempo itu Seva benar-benar terkejut. Bahkan ia sempat salah tingkah dan menjatuhkan tas kertas berisi komik hingga tepat mengenai kaki Jevin. Seva bersumpah, ia tak sengaja. Itu adalah refleks. Ia sendiri pun terkejut saat melihat Jevin menjerit kecil karena kakinya dihantam buku. Kejadian tersebut membuat Seva terus meminta maaf. Untunglah Jevin dengan manisnya menenangkan Seva agar tak merasa bersalah.
Melupakan memori tentang malam itu, Seva kembali menatap ke arah papan tulis yang sudah dipenuhi coretan oleh dosennya. Tatapannya kosong. Pikirannya juga terbang pada pernyataan Jevin. Ia benar-benar tak tahu harus memberi jawaban yang seperti apa. Dirinya tak memiliki rasa sama sekali pada Jevin. Mau menolak pun, rasanya tak enak. Bila saja Seva boleh menggantungkan Jevin untuk selamanya atau setidaknya sampai ia mempunyai rasa, Seva pasti akan lebih tenang.
Anggaplah Seva berlebihan tetapi ini adalah pengalaman pertamanya ditembak oleh lelaki yang tak menarik perhatiannya. Sejauh ini, laki-laki yang menembak Seva adalah mereka yang ia sukai. Sehingga tanpa perlu pikir panjang Seva pun akan mengiyakan. Walaupun pada akhirnya hubungan mereka kandas dengan akhir yang sama, yaitu putus.
Seva sudah meminta saran pada Bia dan Orlin, tetapi kedua sahabatnya itu tak bisa membantu banyak. Mereka juga belum pernah merasakan hal yang sama, bahkan Orlin saja belum pernah pacaran. Satu-satunya nasihat yang mereka berikan adalah memikirkannya dengan baik agar ia tak mengambil pilihan yang salah.
"Sev," panggil Orlin dengan tangan yang berkibas-kibas di depan wajah Seva, membuat Seva beranjak keluar dari lamunan.
"Iya, Lin?" tanya Seva dengan alis yang tertaut. Ia baru sadar Orlin dan Bia berada di sini, mengingat mereka beda fakultas.
"Dari tadi lo bengong aja. Pasti pas kita datang, lo nggak sadar."
"Mikirin apa sih, Sev, sampai nggak sadar gitu? Kayaknya kelas kelar lo juga nggak tahu nih," tebak Bia, seakan menjadi cenayang yang dapat membaca pikiran Seva.
"Bukan apa-apa kok," jawab Seva seraya bangkit dan menggendong tasnya.
"Beneran?" tanya Bia, mencoba memastikan.
"Jujur aja lo mikirin jawaban untuk Jevin. Iya, kan?" Kali ini Orlin yang menebak dan tebakannya memang benar.
Seva tak menjawab pertanyaan kedua sahabatnya. Gadis itu hanya menarik mereka berdua untuk keluar dari ruangan itu bersama-sama.
"Pasti tebakan gue benar deh!" seru Orlin cukup keras. Gadis itu memanglah yang paling berisik di antara mereka bertiga.
"Diam!" tegas Seva, malas untuk membahas hal tersebut.
Orlin mengangkat kedua bahunya. "Iya, iya, oke."
Bia bertanya, "Lin, lo tetap pulang sama gue?"
"Siapa aja dari kalian yang bisa nganterin gue," jawab Orlin dengan senyum lebar.
"Sama gue aja, ya? Seva kayaknya bakal langsung ke rumah sakit, iya, kan?"
Seva mengangguk mengiyakan.
"Oke," setuju Orlin tanpa berniat membantah. Ia cukup tahu diri untuk tidak melakukannya karena mengingat statusnya hanyalah seorang penumpang.
"Seva," panggil seseorang dari belakang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...