Ban merupakan komponen penting untuk menjalankan suatu kendaraan darat. Saat rem ditekan dan mesin dimatikan, benda berbentuk bundar itu akan menghentikan tugasnya. Seperti ban milik mobil Rey yang melakukan pekerjaannya dengan baik setelah sampai di rumah Seva. Posisi kendaraannya sudah tepat bersampingan dengan pintu gerbang.
"Om nggak mau mampir dulu?"
Rey menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Saya mau langsung balik ke B&J. Titip salam aja sama orang tua kamu."
"Oke," sahut Seva. Kemudian, ia mengeluari mobil Rey dan menampilkan senyum. "Om hati-hati, ya."
Kepala Rey terangguk sebagai respons pertama. "Tadi saya udah pergi ke bengkel sebelum jemput kamu. Kata pekerjanya, mobil kamu baru bisa diambil lusa. Jadi, nanti kabarin saya jam berapa kelas kamu besok."
Bibir Seva sedikit mengerucut sebelum gadis itu berucap, "Kelas Seva besok bakal sama jamnya kayak hari ini tapi ... kalau bisa, besok Seva sama Deon atau Bia aja deh."
Pernyataan itu lantas membuat alis Rey menyatu. "Kenapa?"
"Seva nggak mau ngerepotin Om."
Satu kalimat itu mampu membuat kehangatan menyeruak di dada Rey. Ia terdiam selama beberapa saat untuk menikmati rasa itu. Mengakibatnya tubuhnya yang tadi sempat lelah─karena bekerja─jadi semangat lagi. Seolah sederet kata-kata tersebut adalah daya yang dapat mengisi ulang tenaganya. "Oke, jaga-jaga kalau Deon atau Bia nggak bisa, kamu telepon saya. Cuma sampai lusa, saya nggak bakal keberatan."
Kali ini, Seva yang menaikturunkan kepalanya. "Iya, nanti Seva bakal kabarin Om kalau Deon atau Bia nggak bisa."
Akhirnya, Rey pamit. Ia kembali membelah jalan dengan mobilnya. Dari kaca sepion, Rey dapat melihat Seva yang masih menatap kepergiannya. Senyum gadis itu masih tak sirna. Membuat sudut bibir Rey juga tertarik ke atas.
( ⚘ )
Pekerjaan yang digelutinya sekarang membuat Rey harus pulang pada pukul sembilan malam setiap harinya. Terkadang jika beruntung, ia dapat pulang lebih awal seperti Jumat kemarin─hingga dapat menghadiri makan malam keluarga. Namun, kesempatan itu akan sangat jarang terjadi, mengingat B&J HR adalah perusahaan raksasa di bidangnya.
Saat Rey baru memasuki rumah, ia langsung disambut oleh Tami di ruang keluarga. Wanita baya itu sedang asyik mengoleskan produk kecantikan ke wajahnya. Hampir saja Tami tak menyadari keberadaan Rey jika tak mendengar salam dan ketukan sepatu laki-laki tersebut.
Rey mendekat ke arah Tami yang di sofa. "Mami lagi ngapain?"
"Maskeran." Tami menjawab tanpa menatap anaknya. Ia masih sibuk dengan kegiatan yang dilakukannya. "Udah makan?"
"Udah di tempat kerja tadi."
Tami akhirnya mengerling ke arah Rey untuk sesaat. "Ya, udah bersih-bersih sana, terus istirahat. Kalau mau makan lagi, masih ada tuh di dapur."
Mengindahkan perintah Tami, Rey bergumam sedikit. Kakinya kemudian melangkah membawa Rey ke kamar. Tanpa membuang waktu, ia segera melakukan ritual bersih-bersih. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk Rey menyelesaikan kegiatan itu.
Selanjutnya, Rey segera merebahkan tubuh di ranjang. Enggan melakukan hal lain, hanya berdiam dengan pandangan lurus ke titik semu di langit-langit. Otaknya berkelana mengingat kejadian tadi sore. Menimbulkan rasa panas yang tak mengenakan. Rey gusar karena kontak fisik yang Seva dan Jevin lakukan. Seperti rasa tak suka karena miliknya diganggu orang lain.
Sore tadi Seva banyak menceritakan tentang Jevin. Bagaimana cara pemuda itu mendekatinya, juga menjatuhkannya dalam waktu dekat. Rey dapat mendengar kemarahan dari nada bicara Seva. Akan tetapi, gadis itu selalu menutupinya dengan tawa. Mungkin bermaksud sebagai pengalihan agar rasa amarahnya tak semakin menguap.
Seva memang menolak Jevin. Namun, saat di kampus tadi, mata kepala Rey melihat bagaimana Jevin menatap Seva dengan penuh permohonan yang Rey tak tahu untuk apa, tetapi ia tahu jelas bahwa gadisnya sedang diincar oleh laki-laki lain.
Kebimbangan Rey semakin menguap setiap detiknya. Badannya terus bergerak mengubah posisi baring, mengakibatkan seprainya kusut. Rey bangkit kemudian. Menghela napas pelan lalu turun dari kasurnya. Pria itu pergi ke kamar Bia. Ada yang perlu ia pastikan tentang Seva.
Sesampainya, Rey mengetuk pintu yang langsung disahut Bia dari dalam. Ia segera masuk ke dalam kamar bernuansa feminin itu. Namun, mata Rey jadi terbelalak ketika melihat Bia terbaring lemah dengan wajah pucat. Lantas tungkainya melakukan gerakan cepat menghampiri Bia.
"Kamu sakit?" tanya Rey sembari duduk di bibir ranjang. Telapak tangannya tertempel di dahi Bia. Terasa panas. Suhu badan gadis itu lumayan tinggi.
"Demam aja," jawab Bia lemah tapi suaranya sangat santai, seakan tak merasakan sakit apa pun.
"Udah minum obat?"
Bia menganggukkan kepala. "Udah. Mami yang hancurin obatnya."
Mendengar pernyataan Bia, membuat Rey sedikit mengurvakan bibirnya. "Cara minum obat kamu masih kayak gitu?"
Dengusan keras Bia keluarkan. Di detik selanjutnya gadis berambut panjang itu berdecak. "Lebih mudah diminum kalau udah jadi puyer."
Rey mengelus kepala Bia dengan lembut. Senyumnya masih terpatri. "Yang penting kamu cepat sembuh."
Sekali lagi, Bia menaikturunkan kepalanya. "Mas ngapain ke sini?"
"Emangnya Mas nggak boleh ke kamar kamu?"
Bola mata Bia terputar. "Bukan gitu. Biasanya sehabis pulang kerja Mas langsung istirahat. Sekarang kok malah ke sini? Mami atau Papi bilang aku sakit?"
Kepala Rey menggeleng. "Mungkin kontak batin."
Ukiran senyum geli muncul di wajah Bia. Diikuti kekehan selanjutnya. "Ih, sok sweet."
Tawa pelan Rey ikut terdengar. "Mas datang karena mau nanya sesuatu."
"Nanya apa?"
"Tentang Seva."
"Udah aku duga," sahut Bia cepat.
Ringisan Rey bereksistensi. "Tapi kalau kamu udah ngantuk, besok aja."
"Nggak kok. Sekarang aja."
"Oke," Rey berdeham, "sebelum Jevin deketin Seva, hubungan mereka kayak gimana?"
Mata Bia melirik plafon. "Nggak terlalu dekat sih. Paling cuma bicara seadanya aja, tapi aku udah tahu Jevin suka sama Seva. Soalnya dia selalu perhatiin Seva kalau ketemu."
"Berarti, Seva benar-benar nggak ada rasa apa pun sama Jevin?"
Pandangan Bia berubah ke arah Rey. Senyum jenakannya tertampil. "Sebenarnya Mas kenapa nanya ginian?"
Sadar dengan arti dari pertanyaan itu, Rey segera menjawab tanpa berpikir lagi, "Nanya aja."
"Ah, masa?" Pandangan menilik Bia hadiahi untuk kakak laki-lakinya. "Mas cemburu sama Jevin?"
Pertanyaan itu telak. Rey tak mendapatkan ide untuk mengelak, hingga akhirnya ia mengangguk samar. Menurutnya, ini sedikit memalukan. Ia tampak seperti remaja yang sedang cemburu buta. Namun, Rey juga tak bisa menyangkal bahwa memang itulah adanya.
"Aku udah bilang, Seva nggak dekat sama siapa pun setelah putus dari Fadian dan untuk Jevin sendiri, dia emang bener-bener orang baru. Jadi, aku rasa, Seva nggak punya rasa sama Jevin. Apalagi cowok itu pernah bikin Seva tersinggung."
Setiap kalimat yang diucapkan Bia langsung menenangkan Rey. Hidungnya mengembuskan napas lega sangat pelan. Mungkin Seva memang tak mempunyai rasa dan menolak Jevin. Namun, Rey akan terus memasang perisainya. Rey sadar bahwa Jevin masih belum bisa melepaskan Seva begitu saja.
Dan, yang pasti ia juga tak akan membiarkan Seva lepas darinya, kecuali jika gadis itu yang meminta.
( WAF - 20. Menjalankan Suatu Kendaraan Darat )
Nggak tau deh ini apaan. (╥╯﹏╰╥)ง
Tapiii, uyey, udah masuk chapter 20 aja ihikhik! Udah setengah jalan mendekatin ending/?
The simple but weird,
MaaLjs.4 Oktober 2019 | 01:25
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...