Bila seseorang sedang kesal, terkadang mulutnya tanpa sadar mengeluarkan gerutuan. Seva melakukannya saat Rey sedang menyetir mobil sekarang. Setelah meminta izin dengan orang tuanya, Seva langsung mendapatkan isyarat harus menjelaskan semuanya nanti. Deon juga melakukan hal yang sama.
Seva kaget ketika Rey tiba-tiba menghentikan mobilnya di tepi jalan. Pria itu memandangnya dengan tatapan yang tak dapat Seva tebak artinya. Mimik bingung Seva keluarkan. "Kok berhenti?"
"Saya bakal lanjut jalan kalau kamu udah selesai ngomelnya."
Tarikan napas Seva sangat cepat. Ia melipat tangan di depan dada dan menatap ke arah jalanan. Tak bersuara sama sekali.
Terdengar helaan napas Rey. "Sekarang saya yang bilang, kita belum sampai di rumah saya dan kalau kamu nyesal, kamu bisa pergi sekarang."
Kenanaran Seva tergambar dari caranya menatap Rey. "Maksud Om?"
"Saya cuma ngebedain beberapa kata dari kalimat yang pernah kamu bilang. Harusnya kamu tahu jelas apa maksud saya."
Saliva Seva tertelan dengan susah payah. Ia menahan napas. Kemudian, mengatakan, "Seva ... nggak nyesel."
Rey membalas tatapan Seva. "Lalu ini tandanya apa?"
Seva diam cukup lama. Perasaan bersalah kemudian menghantuinya. Ia paham apa yang Rey rasakan. Mendadak mata Seva memanas dan mulai berkaca-kaca. "Maafin Seva. Seva ... cuma belum siap ngejelasin ke Papa, Mama, sama Deon." Seva menggeleng cepat hingga air matanya berjatuhan. "Seva nggak nyesel sama sekali kok. Cuma masih mau beradaptasi aja sama hubungan ... kita."
Rey menghela napas lagi. "Jangan nangis."
Seva merogoh tas yang dibawanya untuk mengambil tisu. Namun, benda yang dicarinya tak kunjung ketemu, membuat Seva semakin frustrasi dan menangis lebih keras. Untunglah dengan segera Rey mengambil tisu yang ia simpan di mobilnya. Lalu mengulurkannya ke arah Seva.
"Makasih," kata Seva sembari mengusap air matanya. Ia berkaca dengan ponsel. "Om boleh lanjut jalan. Seva nggak bakal ngomel."
Selanjutnya, Rey menjalankan mobilnya lagi. Di perjalanan tak ada yang memulai percakapan. Mereka sama-sama diam, berfokus pada hal masing-masing. Membuat kecanggungan mengiringi mereka sepanjang jalan.
( ⚘ )
Seva mengerling ke arah Rey sebentar ketika mengaplikasikan riasan wajahnya. Pria itu tampak sabar menunggu hingga Seva selesai. Dengan sedikit perbaikan di beberapa bagian, akhirnya dandanan Seva kembali rapi. Untunglah Seva sering menonton video tutorial make up di waktu senggang, membuatnya berhasil menyembunyikan mata yang sedikit bengkak karena tangisan tadi.
"Udah, Om!" seru Seva.
Rey menoleh ke arahnya selama beberapa detik. Kemudian, mereka menuruni kendaraan itu bersama-sama. Tak lupa juga Rey mengambil bungkusan berisi es krim untuk Joan. Mereka membelinya di minimarket.
Seperti saat di rumah Seva tadi, Rey kembali memegang tangan gadis itu. Mengakibatkan jantung Seva berdegup lebih cepat. Entah karena sudah lama tidak melakukan kontak dengan laki-laki ... atau hal lainnya. Seva tak menolak dan berkomentar sama sekali. Ia hanya mengikuti langkah Rey yang menarik tangannya. Tak seperti yang lalu, kini Rey berjalan mengimbangi langka Seva sehingga anak perempuan tersebut tak kesusahan mengikutinya.
Sesampainya di depan pintu rumah, Rey langsung menekan knop dan mendorong daunnya sampai terbuka. Baru saja mengucap salam dan mengambil satu langkah, tiba-tiba ada sesuatu yang menubruk kaki Seva. Gadis berambut sebahu itu hampir saja jatuh jika Rey tak menahannya.
"Ye, ye, ada Ante Theva!" pekik Joan─dalang dari kejadian tadi.
Rey tersenyum ketika melihat Joan yang bergelayut manja di kaki Seva. "Jo, lain kali pelan-pelan. Tadi Tante Sevanya hampir jatuh."
"Kalau Ante Theva thih jatuh-jatuh aja thakit dong?" tanya Joan. Kepalanya sedikit meneleng dengan mata membulat karena penasaran.
Gemas tak tertahan, Seva melepaskan tangan Rey yang menggenggamnya. Kemudian, ia membungkuk untuk mengambil Joan agar dapat digendongnya. "Sakit dong. Sama kayak Joan kalau jatuh."
Bibir Joan mengurva terbalik. Ia segera melingkarkan tangannya ke leher Seva. "Ante, Joan minta thih maaf aja."
Kikikan Seva terdengar karena susunan kalimat Joan yang masih salah. "Iya, dimaafin."
"Joan thayang Ante Theva," ucap Joan, senang karena dimaafkan. Wajahnya mendekat dan mencium lama pipi Seva.
"Tante juga sayang Joan," balas Seva.
Rey tersenyum melihat kedekatan keduanya. Ia menutup pintu, lalu bertanya. "Kakek sama Nenek di mana, Jo?"
"Nenek thama Kakek di luang tengah aja lagi nonton thih thama Bunda thama Ayah." Mata Joan menangkap plastik yang Rey jinjing. Telunjuknya mengarah ke benda itu. "Itu aja apa? Eth kelim Joan thih mana?"
"Oh, iya, ini emang es krim Joan." Rey memberikan plastik yang ia pegang pada Joan.
Gadis itu mengambilnya. Meminta diturunkan oleh Seva karena tak mau mengotori pakaian gadis itu. Kata Joan, baju yang Seva kenakan cantik dan ia ingin memakai yang seperti itu saat besar nanti. Seva semakin gemas saja dibuatnya.
Isyarat Rey berikan pada Seva agar mereka segera masuk. Lalu, ia menoleh ke arah Joan. "Joan mau ikut ke dalam atau ke sini?"
"Joan maunya aja di thini thih." Joan menjilat es krim yang berhasil ia buka bungkusnya. "Ante Bia bilang-bilang, thuluh Joan tunggu di thini aja thih. Ante Bia buatin thuthu Joan."
Setelah itu, Rey dan Seva segera berjalan memasuki rumah lebih dalam. Setiap langkah yang diambil Seva melahirkan kegugupan. Tangannya mulai berkeringat kala jantungnya terpompa lebih cepat. Ia tak pernah merasakannya saat ingin bertemu dengan Ardi dan Tami sebelum ini.
Saat mereka sampai di ruang keluarga, Rey segera menyapa kedua orang tuanya. Membuat pasangan paruh baya itu memberi perhatian, begitu juga dengan Bey dan Irfan yang ada di sana.
"Eh, ada Seva!" seru Tami saat melihat gadis yang usianya sudah hampir dua puluh tahun itu. "Kapan datangnya? Bia lagi di dapur buatin susu untuk Joan."
Senyuman kikuk Seva tampilkan. "Seva barusan datang ... sama Om Rey."
Keempat orang di depannya lantas mengernyitkan dahi. Mereka bingung dengan pernyataan yang baru saja Seva muntahkan.
Rey juga menyadarinya. Ia menoleh ke arah Seva dan kembali memegang tangan gadis itu. Genggamannya erat sampai ia dapat merasakan keringat di telapak tangan Seva. Di detik selanjutnya, berbagai ekspresi dikeluarkan oleh Tami, Ardi, Bey, dan Irfan. Rey memandang mereka bergantian. Lalu berujar, "Ini Seva, perempuan yang mau aku kenalin ke Mami sama Papi."
Seva ingin segera menghilang. Keempat orang di depannya tak memberi tanggapan sama sekali. Mereka lebih menunjukkan keterkejutan setelah Rey mengeluarkan kalimatnya. Mendadak perut Seva mulas. Ia menerka apa tanggapan orang tuanya nanti.
( WAF - 15. Tanpa Sadar Mengeluarkan Gerutuan )
The simple but weird,
MaaLjs.10 September 2019 | 02:46
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...