Hampir selalu ada kebimbangan ketika seseorang menghadapi pilihan. Seva merasakannya sekarang. Ia benci ketika harus memilih, tapi setiap langkah yang harus ditempuh dalam kehidupan memang harus disortir dengan baik.
Seva tahu, Rey adalah pria yang baik. Bia sering menceritakannya. Namun, ia tak yakin bahwa pria itu mumpuni permintaan Henri. Sakit hati kejadian tahun lalu masih membekas dan Seva tak mau merasakannya lagi. Sudah cukup ia jatuh pada orang yang salah, ia tak mau masa-masanya ketika menjadi gadis menyedihkan kembali terulang.
Memori Seva menyimpan dengan baik bagaimana Rey memohon agar diterima. Akan tetapi, siang itu Seva tetap kukuh. Seperti tak kehabisan cara, Rey memintanya untuk memikirkan kembali. Seva terima dan melakukan itu. Selama tiga hari ini, ia selalu mempertimbangkannya. Mengira-ngira apa konsekuensi yang ia dapat jika mengiyakan Rey. Henri memintanya untuk segera bertunangan agar tidak merasakan sakit lagi. Namun, Rey menganggap itu agar terlepas dari ikatan kewajiban. Dalam hal ini saja, mereka sudah tak sepemikiran.
Jika Seva mengiyakan─hanya agar para orang tua bahagia─dan mereka mulai berhubungannya, maka apa yang akan terjadi di kemudian hari? Jelas-jelas maksud dari permintaan dan paksaan itu diberikan, karena ingin melihat keseriusan dan komitmen mereka. Apalagi di umur Rey yang hendak menginjak kepala tiga, ini sudah bukan waktunya main-main dengan suatu hubungan.
Sekitar dua puluh menit yang lalu, Rey meneleponnya. Pria itu ingin menemuinya di restoran kemarin. Masih dengan tujuan yang sama, ingin melamar Seva. Awalnya Seva ingin memberikan penolakan, tetapi urung karena sekarang Rey yang terdengar begitu menyedihkan. Seva pun berbaik hati menerima ajakannya. Namun, pria itu malah terlambat. Kalau Rey tak kunjung datang dalam kurun waktu sepuluh menit, ia akan pulang.
Pelayan kembali mendatanginya. Ia mengulurkan menu. "Jadi, Mbak mau pesan apa?"
Pelayan itu sudah menawarkannya dua kali dan ia tak enak jika harus menunda lagi. Akhirnya, Seva putuskan untuk memesan makanan yang sama seperti kemarin dulu.
"Maaf, tadi jalanan macet." Suara itu terdengar beberapa menit setelah pelayan pergi. Orang yang sedari tadi ditunggu Seva sudah duduk di hadapannya sekarang. "Kamu udah pesan makanan?"
"Udah, sama kayak kemarin."
Rey mengangguk. Sedikit senyumnya terlihat. "Makasih udah mau datang."
"Sama-sama," cicit Seva. Pandangannya teralih ke arah lain. Jari-jarinya mengusap tas yang ia pangku. Lalu, kembali menempatkan tatapan pada Rey. Seva menahan napas sebentar. "Jadi ...?"
Rey berdeham. Ia menjelaskan bawah waktu yang diberikan Tami sudah semakin menipis. Ia menagih jawaban Seva sekarang. Wajahnya terlihat sedikit cemas. Mungkin takut Seva memberikan penolakan lagi.
"Kenapa sih Om pilih Seva? Padahal masih banyak perempuan lain di luar sana. Umur kita beda jauh. Seva juga sering bikin Om kesel. Kenapa nggak cari perempuan yang lebih dewasa?" tanya Seva. Ia ingin meminta penjelasan. Lebih tepatnya, tak mau menerima alasan seperti siang itu.
Untuk sesaat Rey diam. Kemudian, berkata, "Saya juga nggak dekat sama perempuan lain. Saya nggak punya pacar dan belum pernah coba dekatin siapa pun untuk saat ini. Kamu tahu sendiri, saya baru pulang dari luar negeri. Masih sibuk beradaptasi sama pekerjaan."
Sekarang, Seva yang mengangguk. "Lalu?"
"Kita punya tujuan yang sama. Itu alasannya. Makanya, saya pilih kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
What a Feeling
Romance( Seri Made in the AM #1 | ✓ ) Kedatangan Gaufrey Wahid Amaelo dalam hidupnya, membuat Sevarina Lallita Putri belajar tentang tahap mencintai, yaitu: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Tahapan-tahapan itu menjadi landasan utama hubungan yang...