Chapter 23

5.5K 314 50
                                    

Kematian Jinah menjadi pukulan telak bagi Jiyong. Hingga siang persiapan pemakaman dilakukan, dia masih setia duduk di samping jasad Jinah dan memandanginya dengan kosong. Dia tidak menyangka Jinah akan pergi darinya. Pergi meninggalkannya dan selamanya dia akan kehilangan Jinah. Jiyong terus terdiam dan tidak menjawab semua orang yang bertanya keadaannya. Baik itu tuan Kwon atau bahkan nyonya Kwon. Jiyong butuh waktu sendiri dengan Jinah. Tidak, bukan dengan Jinah, tetapi dengan raga kosong Jinah. Sebab, nyawa Jinah sudah tidak lagi berada di sana. Jiyong beberapa kali menghembuskan napas berat dan mencium kening Jinah untuk yang terakhir kalinya sebelum peti itu ditutup dan dibawa pergi untuk memisahkannya dengan dunia.

Siang itu pemakaman Jinah dilangsungkan di area permakaman keluarga dengan tertutup. Jiyong sudah lebih tegar dan sudah bisa tersenyum di hadapan para keluarga yang datang dan memberikan bela sungkawa padanya. Dia sudah merelakan Jinah pergi, tetapi masih ada sebersit rasa bersalah ketika mengingatnya. Seluruh kenangan bersama dengan Jinah seakan ikut terkubur dalam tanah dengan raga Jinah di sana. Tetapi jelas semua memori itu masih tersalin di otaknya sehingga tidak akan pernah bisa dia lupakan. Seumur hidupnya. Jinah adalah sahabat dan kekasihnya yang tidak akan pernah bisa dia lupakan.

"Jiyong, kau sudah baik?" Tanya nyonya Kwon.

"Nde omma, aku sudah tidak apa." Kata Jiyong masih duduk di samping batu nisan Jinah.

"Omma meminta maaf padamu dan Jinah karena selama ini aku tidak bisa menjadi ibu mertua yang baik padanya. Aku merasa sangat malu dengannya sekarang. Karena dia, kamu masih hidup Jiyong." Kata nyonya Kwon.

"Aku juga belum sempat meminta maaf padanya atas perkataan kasarku sebelumnya omma." Kata Jiyong dengan mengelus nisan itu.

"Nak, appa sangat menyesal dengan semua ini. Andai appa memperhitungkan semuanya, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi." Kata tuan Kwon.

"Semuanya sudah terjadi appa, aku sudah merelakannya. Dan aku yakin Jinah juga bisa memaafkan appa dan omma. Jinah bukanlah tipe orang pendendam." Kata Jiyong.

"Appa benar – benar meminta maaf padamu Jiyong." Kata ayahnya.

"Hanya berdoa pada Tuhan appa, dan omma. Semoga Jinah selalu mendapatkan jalan yang mudah di surga." Kata Jiyong.

"Omma bahkan belum sempat membuatnya bahagia." Kata nyonya Kwon dengan menangis.

"Sudahlah omma, aku juga masih merasa bersalah padanya. Tetapi aku sangat yakin Jinah sudah memaafkan kita." Jawab Jiyong.

Jiyong masih memandang nama Jinah dalam batu nisan itu dengan senyum. Dia sudah tidak bisa lagi meneteskan air matanya. Matanya juga sudah sangat lelah menangis, dirinya yakin bahwa Jinah sudah bahagia dan menemukan jalan terbaik.

Setidaknya dia tidak akan menerima penderitaan dari media dan tentunya dari perlakuannya yang masih belum bisa adil dengan Dara. Kemudian pikirannya beralih pada Dara. Sebelum dia menyelenggarakan acara pemakaman ini, dia memantau Dara dari tuan Park. Dan dia berniat akan menemuinya lagi setelah ini.

Pemikirannya terputus ketika ponselnya berbunyi dan menampilkan nama salah satu petugas polisi yang menangani Haejin dan Jennie.

"Selamat siang tuan Kwon, saya menginformasikan bahwa sidang dakwaan kepada saudara Park Haejin dan saudari Kim Jennie akan diselenggarakan minggu depan. Segala penyelidikan dan bukti sudah merujuk pada keduanya sehingga tidak banyak penyelidikan lagi, kami sudah bisa melakukan persidangan. Anda diharapkan untuk datang." Kata petugas itu.

"Nde, terima kasih banyak. Aku akan datang nanti. Tolong kabarkan saya kapan kepastiannya dan saya akan hadir di sana." Kata Jiyong.

"Kami turut berduka atas apa yang terjadi pada keluarga anda tuan." Kata petugas itu lagi.

SECOND WIFE - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang