Saat harus memilih, pilihan yang paling dekat dengan ridhoNya lah yang harus di ambil.
Syafa pov
Tak terasa sulungku sudah hampir lulus dari sekolah dasar. Ada keinginan untuk memasukkannya di Islamic boarding school. Aku merasa saat putih biru lebih rawan daripada masa putih abu-abu. Di tambah dengan pergaulan yang semakin tak mengindahkan norma-norma. Jauh dari tuntunan agama. Gaya hidup yang hedonis. Aku tak mau anak-anakku terjebak di dalamnya. Anak-anakku harus berani melawan arus agar tak ikut terhanyut .
Masa smp anak akan mengalami masa pra baligh. Di masa ini pondasi tentang aqidah harus lebih dikokohkan lagi, sehingga saat nantinya dia mencari jati diri tidaklah mengkhawatirkan, karena sudah terbentuk jati diri islami dalam hatinya. Yah walaupun tetap harus di awasi dan di dampingi.
Aku beruntung memiliki suami seperti mas Wawan. Suami yang bisa di ajak kerjasama untuk mendampingi usia pra baligh. Bagi anak laki-laki peran ayah haruslah kuat, ayah yang akan mendampingi saat ia dalam fase peralihan, ayah yang akan menjelaskan apa dan bagaimana mimpi basah itu. Kewajiban dan konsekuensinya. Tanggung jawab apa yang kemudian akan melekat padanya.
Pria matangku ini, sosok ayahable bagi anak-anak. Sifat dingin, kaku, manusia es, juga temperamennya hilang entah kemana. Namun masih meninggalkan sifat judes juga posesifnya, walaupun kadang sifat kaku dan keras kepalanya masih sesekali muncul.
Di usia yang memasuki 45an,mas Wawan semakin terlihat mempesona, tubuhnya masih tegap, perut sixpacknya pun tak hilang. Hanya rambutnya yang mulai menipis.
Ketampanan saat usia mudanya kini tergantikan oleh si sulungku dan si tengah. Yah dua anak laki-lakiku ini memang fotocopy dari ayahnya. Apalagi Idlan, tak ada yang ditinggal, wajah, sifat, kegemaran.
"Assalamu'alaikum nda... Kenapa melamun? "Sapa Idlan sambil menyalamiku sepulang sekolah. Ah anak ini begitu perhatiannya.
"Lagi ngelamunin kakak. Waktu berlalu begitu cepat. Bunda masih merasa baru kemarin melahirkan kakak, menyusui, nemplok seperti gurita, di susul bunda mengandung Ghazi.
Sekarang anak-anak bunda udah memasuki masa pra baligh. Cepat sekali. Tinggi kakak aja hampir sama ma bunda.
Kakak semakin besar. Tanggung jawab semakin besar juga. Kakak nantinya harus bisa membantu ayah,melindungi keluarga ."ucapku penuh haru.
"Kak Idlan, bunbun kenapa kok sedih? "Tanya bungsuku hendak pamit untuk ikut tpa di mushola dekat rumah.
"Bunda nggak sedih kok dedek, bunda hanya terharu. Ingat kalian yang udah semakin besar.. Bunda bersyukur sama ALLAH. "
"Oh kilain kakak bikin bunbun nangis. Nanti dedek jewel kakak kayah ayah"cerocos Hafla sambil melotot yang membuat kami tertawa lucu.
"Dek.. Orang nggak takut liat kamu melotot. Malah pengen ketawa" celetuk usil Ghazi yang juga tengah bersiap untuk belajar tahsin.
"Dedek tuh lagi malah. Kakak takut dong!!! "Ucap Hafla yang membuat kakaknya makin terbahak
"Ada orang marah ngomong-ngomong. Nyuruh takut lagi. Dedek itu nggak pantas marah. Jelek"balas Ghazi masih dengan tawanya.
"Bunbun.. Kakak tu, ndak ngelti olang malah"
"Sudah, kalian berangkat sana. Nanti telat"
---------
"Yah... Ini hasil tryout Idlan kemaren,di suruh tanda tangan sama gurunya "ucal Idlan sambil menyerahkan selembar kertas laporan saat kami menunggui mereka belajar usai makan malam.
"Gimana nilainya yah? "
"Alhamdulillah bun. Kakak nilainya sempurna semua. Oh iya ulangan Ghazi mana? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumahku Surgaku
SpiritualBagaimana kisah Syafa Althafunnisa dan sang suami Ikhwan Abdulrasyid dalam membesarkan putra putrinya di tengah kehidupan yang hedonis Akankah ketiga anaknya akan mampu melawan arus. Berhasilkah usaha mereka memberikan pondasi keimanan. Mampukah m...