Perlu banyak belajar untuk terus bisa menggali ilmu agama yang bilamana ilmu ALLAH di tulis maka samudera yang berubah menjadi tinta pun tak akan sanggup menuliskannya
Part ini spesial author. Mohon maaf bila nantinya akan ada hal yang menjadi polemik, tolong sikapi dengan bijak ya...
Author pov.
Waktu terus berjalan, membabat setiap detik yang ada. Hampir satu semester berlalu sejak anak sulung keluarga Abdul rasyid ini menghuni asrama pesantren. Suasana yang awalnya terlihat aneh kini mulai berangsur normal, rasa kehilangan mulai memudar. Apalagi bulan depan saat libur semester keluarga itu akan utuh kembali anggotanya.
Ghazi dan Hafla tetap memberi warna indah di rumah asri dengan cat biru langit, warna kesukaan sang bunda.
Ikwan tampak duduk di balkon kamar sambil memijit pelipisnya, wajahnya nampak lelah. Seperti ada beban berat yang sedang menyelimuti otak brilliantnya. Matanya terpejam, dengan hembusan nafas frustasi yang terdengar.
"Ada apa mas? Beberapa hari ini adek lihat mas seperti sedang memikirkan hal berat? Apa bisa kita berbagi? "Sapa Syafa sambil mengangsurkan segelas lemon tea hangat untuk suaminya.
Hembusan nafas kasar terdengar kembali saat suasana hening. Syafa hanya biaa mengelus lengan kokoh suaminya dengan lembut.
"Berbagilah mas.. Adek ada di sini, mendampingi mas untuk berbagi suka duka. Jika ada masalah andai adek nggak bisa bantu menyelesaikan, minimal mas merasa lega. Adekkan satu-satunya sahabat wanita mas? Apa mas udah curhat sama ALLAH? "Lembut nada Syafa memudarkan raut frustasi suaminya.
Sedangkan Ikhwan bingung, harua cerita dari mana. Karena apa yang dia hadapi pasti akan melukai istrinya, dan itu hal yang paling tidak di inginkannya. Melihat istrinya menangis karenanya.
"Adek taukan Dyo? "
"Teman kantor mas? "
"Iya... " jawab Ikhwan singkat. Syafa yang tau suaminya belum menemukan cara untuk menceritakan apa yang terjadi hanya bisa diam menunggu.
Hampir enam belas tahun mendampingi lelaki pilihannya itu, Syafa paham,sangat paham bagaimana harus bersikap.
"Minggu lalu dia datang ke ruangan mas. " Ikhwan kembali terdiam lama. Keheningan menyelimuti mereka. Syafa pun mengatupkan bibir tak bersuara. Saat suaminya seperti ini, dia akan menjadi pendengar setia, tak menyahut, menyela, ataupun menginterupsi kalimat-kalimat yang akan di sampaikan oleh suaminya.
Helaan nafas kembali terdengar. Ikhwan mengambil tangan mungil istrinya, mengenggam erat dan meletakkannya di dada. Syafa bisa merasakan detak jantung.
"Dia menyodorkan CV... "
Kalimat yang membuat tubuh Syafa reflek menegang. Mengetahui reaksi istrinya, Ikhwan semakin erat menggenggam tangan mungil itu. Matanya terpejam, tak mau melihat wajah istrinya yang terkejut dan mungkin pucat. Ikhwan tak sampai hati untuk melihatnya.
"Mas menolaknya... Mas mengembalikan CV itu.. Tapi tadi siang, saat istirahat, bu Retno -guru ngaji dari si pemilik CV itu - dan suaminya menemui mas.. Katakanlah dia melamar mas untuk binaannya. "
Tangan Syafa terasa gemetar dalam genggaman suaminya. Entahlah apa yang di rasakan saat ini. Seseorang melamar suaminya? Ingatan Syafa seolah terseret beberapa tahun lalu. Saat ia memberikan CV ta'aruf kepada suaminya, saat ia merasa putus asa tak kunjung mendapatkan buah hati, dan idenya itu mengundang kemurkaan suaminya.
Kini kata ikhlasnya saat itu di pertanyakan kembali. Apakah dia benar-benar ikhlas seperti yang di ucapkannya dulu?
Hati Syafa seperti di remas-remas, terasa sakit. Oksigen di sekitarnya seperti tersedot habis, tak menyisakannya untuk masuk ke paru-paru. Terasa sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumahku Surgaku
SpiritualBagaimana kisah Syafa Althafunnisa dan sang suami Ikhwan Abdulrasyid dalam membesarkan putra putrinya di tengah kehidupan yang hedonis Akankah ketiga anaknya akan mampu melawan arus. Berhasilkah usaha mereka memberikan pondasi keimanan. Mampukah m...