Ridho ALLAH berada pada ridho orang tua.
Mudah kan mendapatkan ridho ALLAH? Patuhi orang tua selama tidak menentang hukum syariat
Idlan pov
Terlahir menjadi anak sulung membuatku harus bisa menjadi contoh juga pelindung bagi adik-adikku. Apalagi aku mempunyai seorang adik perempuan yang harus selalu aku awasi.
Ayah bundaku memang tak pernah menuntutku untuk bisa menjadi contoh dan pelindung. Namun di tiap apa yang di ajarkan bunda aku bisa menarik kesimpulan, bahwa tanggung jawabku besar.
Seperti saat ini. Aku harus memutuskan untuk masuk pesantren yang otomatis akan membuatku berpisah dengan bunda. Aku hanya sekali pergi jauh tanpa bunda, itupun hanya seminggu, saat pakde Usman mengajakku ke Turki. Dan aku tau rasanya berpisah jauh dengan bunda, sangat tidak enak.
Aku berbeda dengan Ghazi juga Hafla yang mudah membaur. Kata bunda aku duplikat ayah dalam segala hal. Dulu sebelum menikah dengan bunda ayahku juga kaku, tak banyak bicara dengan orang luar sepertiku. Aku sulit bergaul dengan orang baru. Selama ini aku hanya memiliki beberapa teman akrab, berbeda debgan Ghazi yang memiliki banyak teman.
Aku merasa nyaman bila bersama bunda. Tapi kata ayah aku nggak boleh aku selamanya di posisi nyaman, karena aku harus berkembang.
Semula aku enggan untuk menerima tawaran ayah sama bunda. Tapi aku teringat apa yang selalu bunda katakan, bahwa apabila kita mengambil keputusan, maka ambilah yang ALLAH lebih ridha dengan keputusan itu.
Aku tahu, orangtuaku memiliki banyak alasan kenapa mereka memberiku penawaran ini. Yang pasti apapun alasannya mereka ingin aku juga adik-adikku mendapatkan yang terbaik. Beruntungnya takdirku, lahir dari rahim bunda,wanita yang sangat baik, memiliki ayah sebijak ayahku.
"Anak bunda kenapa melamun? "
"Bunda.. Idlan udah bicara sama ayah. Idlan setuju masuk pesantren. Idlan juga masuk ke tempat yang di rekomendasikan bunda, di Bogor. "
"Alhamdulillah bunda seneng dengernya kak. Insyaa ALLAH dua tahun lagi Ghazi juga menyusul kakak" kata bunda sembari tersenyum dan membelai lembut kepalaku. Hal seperti ini yang nanti membuatku kangen sama bunda.
"Iya nda... Ayah juga setuju, kalo masalah cita-cita, Idlan yang akan menentukan sendiri. "
"Iya nak.. Apapun cita-cita kamu, ayah sama bunda akan dukung. Karena kami percaya cita-cita Idlan baik. Yang penting iman selalu ada di hidup Idlan. "
Inilah bunda sama ayahku. Mereka selalu sepemikiran. Mereka selalu sejalan kalo masalah anak-anaknya. Kompak.
"Iya nda... Tapi nanti bunda sering nengok Idlan kan? "
"In syaa ALLAH bunda usahakan ya..kakak taukan bagaimana kisah Imam Syafi'i ? Beliau sangat menyayangi ibunya, namun Imam Syafi'i pergi bertahun-tahun demi mencari ilmu, berguru pada Ulama-ulama besar saat itu.
Bunda ingin meneladaninya. Bunda ingin melepaskan anak bunda mencari ilmu walaupun bunda juga berat melepas Idlan.
Bunda menguatkan diri, bahwa apa yang bunda lakukan adalah untuk kebaikan anak-anak bunda. Karena bunda juga akan mendapatkan pahala jariyah bila anak-anak bunda adalah anak yang sholeh dan sholehah. "
"Iya nda.. Idlan ngerti kok"
Ayah bundaku memang selalu berusaha mendidik kami agar selalu paham ajaran agama.
Aku ingat bagaimana kini aku juga Ghazi bisa terbiasa bangun untuk tahajjud. Yah walau Ghazi masih bolong-bolong. Semua itu karena usaha ayah. Sejak aku berumur tiga tahun ayah selalu menggendongku saat subuh ke masjid. Walaupun di sana aku hanya pindah tidur, tapi menurut ayah agar aku terbiasa dengan sejuknya subuh yang menyambut malaikat turun ke bumi.
Saat aku berumur lima tahun ayah tak lagi menggendongku. Aku di tuntunnya, sedang Ghazi di gendong. Akupun sudah harus ikut sholat jamaah, walaupun sambil merem. Ayah tak pernah marah saat aku tertidur di tengah sholat subuh.
Aku juga ingat bagaimana usaha bunda mengganti membasuh anggota wudhuku, mengganti pakaianku, sedangkan aku masih terlelap. Mungkin banyak yang bilang ayah bundaku terlalu dalam mendidik kami, tapi kata ayah ,mereka akan lebih tidak tega bila melihat kami tidak terbiasa bangun untuk sholat subuh.
Saat di biasakan tahajjud pun, ayah nggak langsung menyuruhku sempurna mendirikan sholatnya. Ayah bersusah payah dulu mengangkat ku dari kasur untuk pindah ke ruangan yang biasa di gunakan untuk mengaji. Dari yang semula pindah tidur, sholat sambil merem, sampai akhirnya bisa mengerjakan sholat malam.
Terkadang aku juga ingin seperti teman-teman yang lain, bebas bermain tanpa memiliki tanggung jawab. Tapi bunda selalu mengingatkan akan waktu yang terbuang sia-sia, tak bermanfaat, akhirnya menjadi orang-orang yang merugi. Memang ayah juga bunda mengijinkan aku juga adik-adikku bermain, tapi mereka membatasi waktu juga apa aja yang boleh kami mainkan.
Kalau ada yang bertanya, apakah ayah pernah marah besar. Jawabnya pernah. Ayah marah besar padaku juga Ghazi. Aku mengingat hal itu sampai sekarang. Pesawat remote control yang baru sebulan di belikan ayah di rusak sama ayah sendiri, masalahnya aku sama Ghazi memainkan pesawat itu sampai lupa waktu bahkan adzan asar kami abaikan. Kata ayah, ayah nggak sayang sama mainan yang mahal itu rusak, ayah lebih sayang sama anak-anaknya. Lebih baik mainan itu rusak daripada kami yang rusak.
Aku sama Ghazi hanya menunduk takut. Bunda nggak pernah membela kami bila ayah marah. Bunda akan menasehati kami bila ayah udah selesai memarahi.
"Nda... Apa yang bunda inginkan dari Idlan jika nanti Idlan dewasa? "
"Bunda tetap ingin bisa memeluk dan mencium Idlan seperti sekarang. Bunda nggak menginginkan harta berlimpah. Bunda hanya ingin anak-anak bunda hidup dalam keimanan. "
"Bunda nggak malu kalo nanti Idlan nggak jadi orang hebat seperti saudara-saudara bunda? "
"Bunda akan malu kalo anak bunda nggak kenal sama ALLAH. Kalian tetap anak-anak bunda yang hebat. "
Aku tau dan sangat tau, bunda menginginkan apapun yang terbaik untuk anaknya.
AKU MENYAYANGIMU BUNDAKU.
Part pendek menggambarkan kedewasaan cara berfikir anak laki-laki. Karena jaman rosul anak umur 14 tahun sudah maju berjihad dengan keahlian memanah dan bermain pedang. Jauh berbeda dengan jaman kekinian
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumahku Surgaku
SpiritualBagaimana kisah Syafa Althafunnisa dan sang suami Ikhwan Abdulrasyid dalam membesarkan putra putrinya di tengah kehidupan yang hedonis Akankah ketiga anaknya akan mampu melawan arus. Berhasilkah usaha mereka memberikan pondasi keimanan. Mampukah m...