Bagian 1

1.6K 75 15
                                    

Lembayung senja di atas cakrawala membuat sore terlihat menguning. Semilir angin menari-nari menerpa wajahku yang fokus pada layar laptop. Mataku tengah menatap ribuan kata yang baru saja ku susun menjadi sebuah prosa. Aku seorang penulis, begitulah jika ada orang yang bertanya. Meskipun masih amatir, aku tetap selalu menyebut diriku seorang penulis. Prosa-prosa milikku memang tak seindah prosa yang dilahirkan oleh William Shakespeare, Dewi Lestari, atau siapapun yang pernah memiliki karya dalam bentuk buku. Namun setidaknya, namaku beken dikalangan para remaja yang sering membeli majalah "Planet Remaja". Setiap minggunya, aku selalu mengirimkan cerita-cerita karyaku kesana. Aku mendapatkan royalti yang cukup besar dari majalah anak muda itu. Uang yang kudapatkan selalu ku simpan di bawah kasur lapuk milikku. Berkat uang itulah, aku bisa mendaftar kuliah di salah satu universitas ternama di Kota Bandung.

Orangtuaku memberikan nama Arno Dyani padaku. Anak ke-dua dari sebuah keluarga yang sederhana. Ibuku bekerja sebagai tukang warung. Warung di depan rumah milikku adalah sisa-sisa peninggalan bapak. Beliau meninggal dunia ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMP. Meninggalkanku, ibu, dan kakakku Lia.

Sepeninggalan ayah, ibu dan teh Lia menjadi tulang punggung keluarga. Mereka yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Untuk itu, aku sangat berterima kasih pada mereka. Karena tanpa mereka, mungkin aku tidak akan pernah hidup sampai saat ini.

*****

"Arno, noo... sini nak. Ada Izal"

Panggil ibu dari beranda rumah. Setelah menyimpan berkas ceritaku, segera ku tutup laptop dan membawanya bersamaku menemui ibu. Di ruang tengah, ibu sudah duduk bersama Izal, teman sekolahku

"Eh kamu zal. Tumben kamu kerumah, ada apa nih?"

"Gak ada apa-apa sih no, sebenernya aku Cuma mau ngembaliin buku-buku yang pernah aku pinjem aja ke kamu. Ini bukunya. Makasih ya"

Katanya sambil menyimpan setumpuk buku yang ia masukkan kedalam kantung keresek putih.

"Halah kamu, padahal bisa nanti ngembaliinnya kalau kamu belum baca semua"

"Ya gak apa-apa lah, lagian juga kata ibumu besok kamu udah mau pergi ke Bandung kan. Sukses ya kuliah disana"

"Iya amin Zal, amin.. terima kasih"

Ibu datang kembali menghampiri kami berdua. Kali ini ia membawa satu teko berisikan air teh dengan sepiring goreng pisan. Asap masih mengepul di atas goreng pisang. Sepertinya baru saja ibu angkat dari wajan.

"Sok atuh diminum dan dicicipi pisang gorengnya. Ibu teh tadi pagi dikasih pisang sama pa Ajat. Manis banget rasanya. Sok cobian"

Izal melepas senyumnya.

"Ditampi bu goreng pisangna, hatur nuhun"

Pertama-tama ia menyeruput teh nya, lalu satu goreng pisang ia ambil dari atas piring.

Selanjutnya, kami memperbincangkan banyak hal. Mulai dari memori-memori lama kami saat pertama kali masuk sebagai siswa SMA. Pak Jarwoto, guru bahasa Inggris paling galak pun tak lepas dari perbincangan kami sore itu.

Izal memang selalu memiliki banyak cara untuk membuat perbincangan menjadi lebih seru. Ia pandai beretorika. Saking pandainya, ia pernah dipercayai sebagai ketua umum OSIS saat kelas dua SMA, dan biasanya akulah orang yang ia percayai untuk membuat naskah-naskah pidatonya jika ia harus melaju kedepan publik untuk berorasi.

"Kamu udah bilang sama pihak majalah kalau kamu mau berhenti?" tanya Izal

"Udah Zal, malem ini aku mau kirim cerita terakhirku ke majalah."

"Pasti temen-temen di SMA apalagi adik-adik kelas kita bakalan sedih ya karena cerita kamu gak akan dimuat lagi No"

"Ah kamu, masih banyak penulis lain yang bakal gantiin aku"

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang