Bagian 2

609 49 4
                                    

Pusing rasanya jika harus mengingat jalan menuju rumah Pak Yudi dari terminal bus. Jalannya berkelok-kelok. Baru saja keluar dari perempatan ada perempatan lagi. Aku saja yang mencoba untuk menghafal jalan selalu gagal mengingat. Apakah aku tadi sudah belok kiri atau kanan. Setelah mencoba sepuluh menit untuk mengingat jalan, aku menyerah. Akhirnya aku hanya menikmati pemandangan jalan yang ku lewati saja.

Masih belum percaya rasanya aku tiba di Kota Bandung. Aku akan tinggal di kota yang paling banyak dituju orang-orang sekarang. Sesampainya di Bandung tadi, aku ingin tahu seperti apa megahnya Gedung Sate, indahnya alun-alun kota bandung, Floating Market, Punclut, dan masih banyak lagi. Sepertinya tempat-tempat itu akan masuk ke dalam daftar tempat kunjungan wajibku nanti.

Musik di radio masih mengalun dengan indah. Entah lagu apa judulnya aku tidak tahu. Yang pasti lagu ini berbahasa Inggris dan disenangi Ghifari. Selama lagu itu diputar, ia terus membeo. Bernyanyi hingga urat lehernya muncul. Suaranya biasa saja, tidak bagus. Aku bisa menebak dengan mudah kalau Ghifari hanyalah penikmat musik biasa dan bukan seorang penyanyi.

"Ngapain si lo ngeliatin gue kaya gitu? Gak suka lo denger gue nyanyi"

Aku segera mengalihkan perhatianku, menghindar dari tatapan sinisnya yang menakutkan sekaligus menawan.

Setelah lagu itu selesai, Ghifari mematikan radio mobilnya. Dengan seketika mobil menjadi hening. Aku kikuk, bingung harus berbuat apa. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk bernyanyi lirih agar suasana menjadi sedikit lebih cair.

Tak terasa gelap pun jatuh

Di ujung malam, menuju pagi yang dingin

Hanya ada sedikit bintang malam ini

Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Lagu yang sering ku dengar di radio. Aku suka liriknya dan juga musik pengiringnya.

"Payung teduh, untuk perempuan yang sedang dalam pelukan. Lo tau juga ternyata lagu itu"

"Oh itu ya judulnya kak, Arno gak tau. Sering denger aja di radio"

"Lo masih punya radio besar? Radio jadul?"

Ku jawab dengan anggukan.

"Radio itu satu-satunya alat penghibur kalau malem. Tv di rumah rusak beberapa bulan yang lalu. Sebagai gantinya ya radio itu. Biar gak stress" jawabku sambil menatapnya.

Ya tuhan, betapa indah ciptaanmu ini.

Semenjak alunan lagu itu, suasana kami di dalam mobil sedikit mencair. Meskipun aku masih merasa canggung berada di sampingnya. Kami mulai memasukki kawasan perumahan. Begitu banyak polisi tidur hingga membuat perutku rasanya seperti sedang dikocok. Kami memasuki Jalan Pak Gatot II. Seperti itulah tulisan di petunjuk jalan persimpangan tadi. Lalu kami berhenti di rumah nomor 12. Rumah besar bercat kuning dengan pagar yang tinggi. Bisa kulihat dari dalam mobil, halaman rumahnya dipenuhi dengan bunga. Seorang pria paruh baya dengan baju seragam satpam membukakan gerbang untuk kami. Ghifari membuka jendela mobil dan mengucapkan terima kasih. Dengan senyum bapak itu menjawab Ghifari ramah.

Mobil yang aku tumpangi parkir di garasi. Garasi kecil yang hanya cukup untuk satu mobil dengan dua motor. Motor matic dan juga motor besar. Motor yang selalu kudambakan untuk dinaiki. Ghifari melepas sabuk pengamannya.

"Udah nyampe, turun lo" katanya ketus.

Aku menurutinya, membuka sabuk pengaman lalu keluar dari mobil. Ghifari membuka bagasi dan mengeluarkan semua barangku dari sana. Setelah itu ia menyimpannya tanpa membawakan barang-barangku masuk ke dalam. Aku menggerutu dalam hati, pria setampan dia ternyata sangat menyebalkan. Terpaksa aku harus kembali mengangkat koper dan juga ranselku. Ketika di ambang pintu, dua orang paruh baya menghampiriku. Pria bertubuh tambun dengan wanita cantik meskipun usianya sudah menua. Ini pak Yudi dan bu Asri, teman bapak dulu.

Aku menyalami pak Yudi terlebih dahulu. Tanganku disambut dengan hangat oleh tangan pak Yudi.

"Arno, alhamdulillah kamu sudah sampai. Maaf bapa tidak bisa jemput kamu tadi ya"

"Iya gak apa-apa pa, eh ibu assalamualaikum"

Aku menyalami bu Asri, ibunya Ghifari. Tangannya begitu lembut ketika aku pegang. Sebuah usapan penuh kasih sayang ia berikan di puncak kepalaku. Aku merasakan kehadiran ibu tatkala bu Asri mengusapku seperti itu.

"Kamu sudah besar ya, terakhir kali ketemu kamu masih di gendongan. Lia aja masih SD kelas enam waktu itu."

Aku hanya tersenyum. Bingung harus menjawab bagaimana.

"Ayo masuk-masuk, pasti cape ya perjalanan ke Bandung. Bi.. Bi Halimah, tolong bawakan barang-barang Arno ke lantai dua ya. Di kamar yang bibi bereskan kemarin"

Seorang wanita paruh baya, kira-kira seumuran ibuku datang menghampiri. Ia memberikan senyumnya lalu membawa barang bawaanku masuk ke dalam.

.

.

.

Alhamdulillah akhirnya bagian kedua diposting juga hahahaha...

Ini mungkin bisa jadi kesenangan untuk penggemar Arno dan Ghifari. Hayo, ada yang sudah menyadari apa perbedaannya dengan cerita  dulu yang saya posting di blog? Dulu saya menulisnya ketika awal masuk SMA. Masih belum punya banyak ilmu menulis (sekarang juga masih sama sih). Semoga kalian menikmati..

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang