Bagian 23

381 22 6
                                    

Arno merasa gelisah dalam tidurnya. Ia mengalami mimpi buruk. Keningnya dipenuhi peluh. Akhirnya ia terbangun. Bajunya sudah basah karena keringat. Arno megambil air minum di nakasnya lalu menghela nafas. Setelah itu Arno menyadari kalau pintu kamarnya terbuka. Dia melihat seseorang kini tengah duduk di meja belajarnya.

"Bang Wingky?"

Sosok itu membalikan tubuhnya. Menatap Arno dengan mata sembab. Arno menyingkirkan selimutnya dan menghampiri Wingky. Ketika hanya berjarak beberapa sentimeter saja, Wingky menarik tubuh Arno dan memeluknya erat. Tangis kembali lagi keluar dari matanya. Arno kebingungan dengan apa yang harus ia perbuat. Ia juga ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya. Ia ingat perkataan ibunya.

"Maafkan abang.. abang ternyata gak bisa jadi yang terbaik buat kamu."

Arno diam.

"Arno.. ayo bicara, jangan diemin abang No. Abang lebih baik mati daripada harus didiemin kaya gini sama kamu."

Arno melepaskan pelukan Wingky dengan paksa. Ia menatap Wingky sekali lagi. Kali ini tatapannya lebih tegas.

"Gak perlu minta maaf, ini udah jadi keputusan abang dan aku gak bisa apapun lagi bang. Abang yang menentukan, abang yang buat kita jadi kaya gini. Sekarang lebih baik abang keluar dari kamar Arno. Takutnya yang lain ngeliat abang disini nangis dan bertanya-tanya."

"Enggak No, abang sudah pikirkan matang-matang. Abang salah dan abang mau pergi dari kesalahan abang. Kita masih punya waktu No. Abang mau bicara sama semuanya. Abang mau batalkan pernikahan ini."

Tanpa disadari Arno menampar wajah Wingky. Mendapat perlakuan seperti itu Wingky terkejut dan ia sempat terdiam beberapa detik.

"Berapa banyak orang yang akan ngerasa kecewa dan sedih kalau abang batalkan ini? Bukan cuma Arno yang abang sakiti. Ibu, teh Lia, Om Yudi, Tante Asri, semuanya juga akan kecewa. Abang sudah memutuskan semuanya, abang harus jalani apa yang sudah abang putuskan."

"Tapi abang masih sayang Arno.'

"Arno yang udah gak sayang sama abang."

Wingky menatap Arno dengan lekat. Apa yang ia katakan membuat jantungnya tiba-tiba seperti berhenti berdetak.

"Apa maksud kamu?"

"Arno udah gak cinta sama abang. Jadi stop buat hal bodoh. Abang harus nikah sama teh Lia. Arno udah gak mau nerima abang sebagai pacar. Mungkin ini emang jalannya bang. Kita harus hidup sebagai adik dan kakak. Kalau abang mau buat Arno bahagia, nikah sama Teh Lia dan jadi suami yang baik buat dia."

Wingky mengepalkan kedua tangannya.

"Ok kalau itu mau kamu, akan abang penuhi semua keinginan kamu. Abang akan nikahi kakak kamu. Tapi abang minta satu permintaan terakhir.

"Apa?"

"Izinkan abang peluk dan cium kamu untuk yang terakhir kalinya."

Arno mengizinkan, Wingky memeluknya erat. Merasakan aroma tubuh Arno dalam dekapannya yang terakhir. Lalu ia pergi setelah memberikan kecupan singkat di bibir Arno. Arno lagi-lagi ambruk di lantai. Ia menangis malam itu. Tanpa ia sadari, Ghifari melihat semua kejadian itu di balik pintu secara sembunyi-sembunyi.

Semuanya berjalan begitu cepat. Setelah Wingky menghilang dari pandangan, Ghifari berjalan mendekat ke ambang pintu kamar Arno. Ia masih melihat Arno menangis di sana. Sendirian. Duduk bersimpuh seperti tak punya daya. Ia rapuh.

Ketika kakinya hendak melangkah lebih jauh, ada sesuatu yang menahannya. Perasaan gengsi yang ia miliki masih belum bisa ia tahan. Ia tak mau memperlihatkan rasa ibanya terlalu cepat pada Arno. Meskipun di dalam hatinya ia juga ikut menjerit. Melihat orang yang ia sayangi saat ini mendapatkan hantaman besar yang mengguncang jiwanya. Akhirnya, Ghifari berbalik dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia berbaring di kamarnya. Menatap awang-awang. Suara isak tangis Arno masih membekas di telinganya. Tak bisa ia abaikan.

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang