Bagian 30

692 32 9
                                    


Arno P.o.V

Tuhan telah mendengar semua doa-doaku. Aku bingung harus berkata apa lagi. Kebahagiaan mengisi dadaku hingga sesak. Sampai rasanya tercekat dan sulit berteriak. Aku mendapatkan program double degree itu. Nilaiku adalah nilai kedua terbaik. Beberapa minggu lagi aku harus pergi ke Belanda untuk kuliah di sana selama kurang lebih satu tahun setengah.

Semua orang merayakannya, Om Yudi, Tante Asri, Teh Lia, Bang Wingky, Ghifari, dan semua penghuni rumah lainnya. Bahkan satu-satu dari mereka dengan baik hati memberikanku sebuah hadiah. Om Yudi menghadiahiku sebuah jam tangan, Tante Asri memberiku mantel tebal untuk kugunakan di Belanda nanti, Teh Lia dan Bang Wingky memberiku macbook baru sebagai penunjang belajarku nanti. Satu lagi hadiah yang paling ku suka, Ghifari memberiku sebuah boneka Teddy Bear berwarna cokelat. Meskipun hadiah darinya yang paling sederhana, tapi aku sangat suka. Ada keromantisan yang ia sampaikan lewat boneka yang diberinya kepadaku.

Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini aku dan Ghifari jauh lebih dekat dari sebelumnya. Ia tak pernah bertingkah aneh yang membuatku kesal lagi. Malah, ia jadi lebih perhatian padaku. Mengusap rambut, memegang tangan saat kita berdua ada di mobil, selalu mengajak makan berdua di restoran, dan aktivitas lainnya. Hal ini tentu saja membuat diriku semakin mengaguminya. Ah bukan mengagumi, tapi mencintai lebih tepatnya. Hatiku penuh sesak oleh bunga yang mekar. Setiap berpapasan di rumah dan saling berpandangan, jiwaku menggelapar. Seperti ikan yang naik ke daratan. Setiap senyum yang ia berikan rasanya seperti air segar yang ku teguk saat haus.

Karenanya, belakang ini aku merasa seperti pujangga. Menuliskan banyak puisi cinta. Pada akhirnya, kemarin malam setelah pulang makan berdua, aku memutuskan untuk menyatakan cinta saja. Seluruh tubuhku terasa sangat semangat untuk melakukannya. Sudah berpuluh-puluh lembar kertas ku buang karena gagal. Aku ingin membuat puisi untuknya. Puisi yang spesial, puisi yang akan menyampaikan seluruh perasaanku.

Kuputuskan juga bahwa hari ini akan menjadi hari dimana aku akan mengatakan semuanya. Pagi-pagi sekali aku terbangun. Setelah sarapan, aku duduk di ruang keluarga. Masih dengan pulpen dan selembar kertas. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja aku lancar menulis. Inspirasi mengalir begitu saja seperti air terjun. Dengan cepat ku tulis setiap katanya pada kertas yang sudah ku sediakan.

Di sela-sela saat aku menulis, tanpa sadar Ghifari datang menghampiriku. Ia duduk bersandar di sampingku sambil mengamati apa yang sedang aku lakukan. Buru-buru aku menutup kertas berisikan puisi itu dan ku sembunyikan darinya. Ghifari tersenyum jahil dan hendak mencoba mengambilnya.

"Hayo lagi nulis apaan lo.'

"Enggak kak, udah sana pergi. Ini tugas Arno. Jangan ganggu."

"Ahh.. jangan bohong lo." Dia tertawa sambil terus mencoba merebut kertas itu dariku. Sampai pada akhrinya posisi kami berdua terasa sangat canggung sekali. Ghifari tepat berada di atasku seperti posisi push up.

Aku di bawahnya menatap dengan canggung. Aku menelan ludah, posisi yang selalu kubayangkan ini tak kusangka bisa kurasakan.

"Eh sorry." Katanya sambil cepat kembali ke posisi semula.

Ia berdeham sambil merapikan kembali bajunya. Akupun duduk di sampingnya dengan kertas yang masih kugenggang erat.

"Ya udah, gue ke kamar dulu. Mau pergi jalan-jalan sebentar."

Ia berlalu meninggalkanku.

.

.

Puisiku sudah rampung. Aku telah menggulung dan mengikatnya dengan pita. Sebagai hiasan, aku ingin memasukan kertas itu dalam sebuah botol kaca berisikan puluhan origami bunga yang kubuat sendiri. Maka dari itu, aku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan untuk mencarinya. Tadinya aku akan menggunakan saja botol bekas saus sambal yang ada di rumah. Tapi kupikir-pikir lagi, rasanya tidak estetik jika aku menggunakannya.

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang