Bagian 28

344 23 5
                                    

            Dua belas hari sudah aku tinggal di rumahku bersama Teh Lia dan Bang Wingky. Hampir dua minggu aku hidup tanpa adanya ibu, dan rasanya masih tetap kehilangan. Kesedihan ini begitu dalam dan membekas pada diriku, hingga terkadang aku berpikir untuk mengakhiri hidupku juga. Namun dengan cepat aku sadar, diriku sendiri mengumpat dan mengatakan bahwa aku adalah orang yang bodoh jika melakukan hal itu.

Kehilangan ibu sama artinya dengan kehilangan orang yang mengerti keadaanku sendiri. Ibu menerima aku apa adanya sebagai seorang anak. Bahkan mengetahui bahwa diriku adalah seorang homoseksual, ibu tetap menyayangiku.

Tinggal di rumah membuat diriku merasa dekat dengan ibu. Setiap hari aku pasti akan tidur dengan baju-baju ibu yang ditinggalkan. Hal ini membuatku merasakan kehadiran ibu walaupun memang tak sepenuhnya. Kehidupan harus terus berlanjut, hari ini aku akan kembali pulang ke Bandung bersama Teh Lia dan Bang Wingky.

Semalam kami sudah membicarakan perihal rumah ini. Sesuai kesepakatan kami bertiga, rumah ini takkan kami jual. Bang Wingky akan mengubahnya menjadi rumah kontrakan untuk disewakan. Uangnya nanti akan dikelola oleh kakakku sendiri.

"No, udah siap?" tanya Bang Wingky.

"Udah, mau berangkat sekarang bang?"

"Yuk, abang sama Lia juga udah siap."

Aku merapikan tasku dan pergi keluar rumah. Selama beberapa saat aku memandang rumah ini. Rasa haru kembali memenuhi isi hatiku. Air mata sudah terbendung namun segera ku tahan. Teh Lia keluar rumah sambil mengunci pintunya. Ia mendekatiku dan memegang tanganku dengan erat.

"Sekarang Cuma tinggal kita berdua No." Uujar kakaku lemah.

"Teteh mau kita terus bersama ya. Teteh sekarang cuma punya kamu No. Apapun yang teteh alami, teteh janji akan terus berbagi sama kamu. Kamu juga jangan sungkan untuk minta tolong apapun sama teteh. Kita harus saling menjaga satu sama lain."

Bang Wingky lalu merangkul bahuku.

"Abang juga janji akan lindungi kalian berdua. Abang akan penuhi semua kebutuhan kalian, baik itu Lia ataupun Arno. Sekarang Arno juga jadi tanggung jawab abang dan pastinya teh Lia juga. Pokoknya No, jangan pernah merasa kalau kamu sendirian karena kita ada buat kamu. Sebagai keluarga, sebagai kakak."

"Iya Arno, kamu juga kalau misalkan mau pindah rumah bareng kita pasti kita akan dengan senang hati nerima kamu."

"Kalau untuk itu Arno masih belum yakin teh. Arno gak enak sama keluarga Om Yudi dan alhamdulillah mereka juga masih mau nerima Arno."

"Ya udah kalau itu keputusan kamu. Kita akan lebih sering ke rumah bang Yudi dan Mba Asri buat jengukin kamu. Seminggu sekali, setiap weekend kalau bisa."

"Iya teh, terima kasih."

"Ya udah yuk, kita berangkat. Nanti takutnya keburu siang dan macet. Bandung masih jauh.."

Bang Wingky mengangkat barang-baragnya dan teh Lia juga melakukan hal yang sama. Sebelum melangkah pergi, sekali lagi aku berbalik dan melihat rumah kenangan.

"Pa.. Bu.., Arno pergi dulu. Doakan kesuksesan Arno segera menjemput ya. Arno akan kembali lagi ke sini dengan kesuksesan. Arno janji. Sampai nanti pa.. bu.."

Aku tersenyum dan pergi mengikuti Bang Wingky dan Teh Lia.

*****

Author P.o.V

Jam weker berdering nyaring. Membuat telinga Arno sedikit pengang. Dengan malas ia membuka matanya dan menyandarkan tubuhnya. Ia menguap sambil menggaruk kepalanya. Rambutnya sangat berantakan, seperti singa. Ia merenggangkan tubuhnya. Ketika melihat jam wekernya itu, matanya terbelalak.

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang