Bagian 10

486 31 2
                                    

Aku terbangun ketika matahari baru saja muncul. Suasana hutan pagi ini sangat terasa damai sekali. Suara jangkrik semalam sudah digantikan dengan suara burung liar. Seolah-olah mereka sedang menyambut pagi ini dengan nyanyian indah. Aku mencoba melepaskan tangan Ghifari yang memeluk tubuhku. Semalaman, ia terus mendekapku erat. Aku dibiarkan tertidur di dadanya. Sangat nyaman, aku merasa dilindungi. Melihat ia tertidur dengan damai, aku bahagia. Garis-garis wajahnya yang tegas sekali lagi membuat diriku takjub akan ciptaan tuhan yang satu ini.

Aku segera beranjak untuk meninggalkannya. Mendekat ke arah tumpukan kayu bakar yang kini sudah menjadi arang. Tanpa membangunkannya aku pergi untuk mencari kayu bakar dan ranting kering lagi untuk membuat api. Tidak sesulit kemarin sore, dengan mudah aku mendapatkan banyak sekali ranting kering dan kayu yang bisa kujadikan sumber untuk membuat api. Ketika aku kembali dari pencarian kayu bakar, Ghifari terlihat masih tertidur denga pulas meski sinar matahari sudah menyorot langsung ke wajahnya.

Aku menumpuk kembali kayu yang ku ambil itu dan kunyalakan api sebagaimana yang dilakuakn Ghifari kemarin sore. Aku berhasil, api sedikit demi sedikit mulai membesar. Aku mencari sesuatu untuk sarapan pagi ini. Persediaan yang Ghifari bawa hanya cukup untuk makan malam kami saja.

Tiba-tiba, aku mendapatkan ide. Sungai yang ada di hadapanku ini pasti menyimpan cukup banyak ikan yang bisa dimakan. Di kampung, aku biasa menangkap ikan langsung di sungai. Tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya menangkap ikan yang ada sedangkan aku tidak membawa pancingan sama sekali.

Sebelum mencari cara untuk mendapatkannya, terlebih dahulu aku melihat keadaan sungai. Aku ingin mengecek keberadaan ikannya karena percuma saja bukan jika nanti aku sudah menyiapkan alat pancing tetapi nyatanya tidak ada ikan sama sekali. Aku menyusuri tepian sungai, dengan sangat teliti aku perhatikan dasarnya. Sungai ini sangat jernih sampai aku bisa melihat dengan jelas bebatuan dan dasar dari sungainya. Tak jauh dari tempatku tertidur tadi malam bersama Ghifari, aku menemukan banyak sekali ikan di balik batu-batu besar. Aku rasa ikan-ikan itu cukup untuk sarapan kami berdua.

Ternyata ikan memang lebih menyukai berenang di dekat aliran yang cukup deras. Aku melihat ke sekitar, mencari alat yang bisa kugunakan untuk menangkapnya. Namun nihil, tak ada apapun yang bisa ku gunakan untuk menangkap ikan.

Tak ada cara lain selain menangkapnya menggunakan tanganku sendiri. Aku membuka semua bajuku. Yang tersisia hanyalah boxer yang ku kenakan saja. Aku masuk ke dalam air dan mulai menangkap ikan itu dengan tangan kosongku. Ternyata menangkap ikan dengan tangan tak semudah yang ku bayangkan. Sudah lebih dari dua puluh menit aku mencoba menangkapnya namun selalu gagal. Ikan itu terlalu lincah untuk ditangkap. Sampai pada akhirnya aku dikejutkan dengan kedatangan Ghifari di tepi sungai.

"Butuh bantuan?" katanya menawarkan diri.

Aku mengangguk sambil melambaikan tangan untuk menyuruhnya masuk ke dalam sungai. Ia melepaskan bajunya begitu saja. Sampai pada akhirnya hanya menyisakan celana dalamnya saja yang berwarna hitam. Sekali lagi aku menelan ludah melihat tubuhnya hampir telanjang seperti itu. Ia masuk ke dalam sungai dan bergabung bersamaku.

"Udah bangun dari tadi kak?" tanyaku sambil terus mengalihkan pandangan meskipun rasanya sangat sulit sekali.

Jendolan di balik celana dalamnya membuatku sulit berkonsentrasi. Sial!

"Enggak sih, baru beberapa menit yang lalu. Terus gue liat lo di sungai. Gue kira lo lagi mandi, ternyata lagi nyari ikan ya"

"Iya nih susah banget"

Keluhku padanya dan tiba-tiba saja Ghifari mencipratkan air ke tubuhku. Tak hanya disitu saja, ia mendekat dan mengucurkan air di kepalaku yang ia ambil menggunakan tangannya.

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang