Bagian 11

517 30 4
                                    

Arno terbangun ketika Ghifari menepuk-nepuk pipinya secara perlahan. Ketika membuka mata, jalanan di samping kirinya telah berubah menjadi pemandangan perkotaan. Ghifari bilang kalau sebenatar lagi mereka harus turun karena resto milik ayahnya sudah dekat. Tiba saatnya turun, mereka berpamitan kepada semuanya. Termasuk kepada Agam. Setelah mengambil semua barang, Ghifari menuntun Arno menuju resto.

Restoran ini tak jauh dari wilayah salah satu kampus ternama di Kota Bandung. Biasanya banyak pengunjung yang datang. Bahkan ada beberapa orang yang sudah menjadi langganan di restoran milik keluarga Ghifari. Namun hari ini sepertinya keadaan sedang sepi. Hanya ada beberapa bangku saja yang terisi oleh pengunjung.

"Eh A Ghifari, tumben kesini. Mau makan a?" tanya salah seorang pegawai resto pada Ghifari.

"Enggak, lagi nunggu jemputan supir. Abis pulang camping a."

"Oh iya, duduk dulu atuh a. Saya siapin minum ya, mau minum apa?"

"No, lo mau minum dulu?"

"Boleh deh kak, Arno haus."

"Mau minum apa?"

"Apa aja terserah"

"Air comberan mau?"

"Ya jangan air comberan juga."

"Ya udah a, bikinin milk green tea aja ya dua. Jangan lama, ntar keburu hausnya ilang"

Pegawai itu pergi. Lagi-lagi mereka duduk berdua dalam keadaan canggung. Arno menatap kesana-kemari tanpa arah. Menghilangkan rasa canggung karena sedari tadi Ghifari menatapnya terus tanpa henti.

"Kenapa sih kak?"

"Gak apa-apa. Gak boleh liatin lo emang? Ya udah." Ghifari mengalihkan pandangannya sekarang.

Arno P.O.V

Green tea. Mulai hari ini sudah kuputuskan bahwa minuman berwarna hijau ini akan menjadi minuman favoritku. Minuman ini akan menjadi pengingatku untuk dia. Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Setiap gerak-geriknya semakin membuat perhatianku terfokus kepadanya. Jika dilihat lebih dalam, ternyata Ghifari jauh lebih tampan dari apa yang sudah kulihat sebelumnya. Aku terhipnotis, ya ku akui sekarang. Diriku seolah-olah masuk kedalam ruangan yang di dalamnya hanya ada Ghifari dan tak ada yang lain.

Semenjak kejadian tersesat kemarin, entah mengapa ia jadi lebih terbuka. Ia menjadi pendengar yang baik untukku. Meskipun kadang sifat menyebalkannya masih muncul. Tapi berkurang secara drastis. Segala hal yang sebelumnya pernah dibicarakan oleh Agam kepadaku tentangnya tiba-tiba saja menghilang. Sisi negatif dari diriinya melebur begitu saja dalam pandanganku. Ah tapi aku tak boleh berlebihan. Aku harus menjaga perasaanku sendiri. Cukup lama kami berdua terdiam, tak ada yang berani memulai pembicaraan. Hingga akhirnya Ghifari memulainya lagi. Ia bertanya soal tanda lahir di pelipisku. Aku menjlaskan kepadanya bahwa itu bukanlah tanda lahir, melainkan luka bekas jahitan.

Aku mulai bercerita bahwa dulu ketika aku masih kecil, aku adalah anak yang sangat nakal. Sulit untuk diam dan senang bermain kesana-kesini dengan teman sebayaku. Saat itu sedang musim bermain layangan. Aku dan teman-teman biasanya bermain layangan di sawah kering yang padinya sudah dipanen. Ketika itu aku melihat ada layangan yang terputus. Karena ingin mendapatkan layangannya, aku mengejar layangan putus itu dengan temanku. Aktivitas mengejar layangan ini biasa kami sebut nyoko dalam Bahasa Sunda. Aku berlari hingga akhirnya layangan itu tersangkut di pohon. Aku yang merasa memiliki tubuh kecil segera naik ke atas pohon. Namun sayangnya kakiku terpeleset dan pelipisku tergores sedikit dalam oleh batang pohon yang runcing.

Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang