Suara burung gagak membangunkanku dari tidur malam yang kurang nyenyak. Aku bisa bilang begitu karena semalam jangkrik dan pasukannya menyerbuku dan nyaris membuatku menampar Leena yang sedang tertidur, juga Dylan yang sedang mengorok. Untung saja cowok itu memiliki kecenderungan sulit bangun kalau sudah tertidur nyenyak. Kalau saja Leena membawa tenda darurat... tapi sudahlah, itu sudah berlalu. Yang jelas tidur lima jam sudah cukup untukku. Aku mengusap wajahku yang nampaknya sembab, lalu berdiri untuk mencuci muka di sungai. Sebetulnya, aku sedikit berharap kalau air sungai ini bersih, kalian tahu, agar bisa kuminum, tapi kemudian aku melihat seekor tupai sedang buang air di sana.
Aku mengurungkan niatku.
Aku melepas baju untuk paling tidak membersihkan diri dari keringat, jelas teman-temanku tidak suka melihatku keringatan dan menjijikkan seperti itu—dan tentunya aku ingat perkataan Xena soal ketiakku yang kadang dapat mengeluarkan bau-bau tidak sedap (setidaknya itu menurut Xena, Leena tidak pernah mengomentari ketiakku sama sekali). Aku masuk ke dalam sungai dan berendam di sana, diterjang arus sungai yang dingin dan menggelitik.
Brrr, mandi pagi-pagi di sungai memang menyenangkan. Andai saja airnya bisa lebih dingin dari ini.
Aku duduk di sebuah batu, sambil membasuh wajahku dengan air sekali lagi. Aku berkumur seadanya (siapa yang siap sedia pasta gigi dan odol di saat-saat seperti ini), dan kemudian naik ke atas, memakai bajuku dan membuat teh panas. Entah mengapa, hawa disini dingin sekali, padahal biasanya tidak sedingin ini. Walau kulitku tidak terlalu memusingkan suhu serendah ini, tapi logikaku terkadang selalu memberitahu sinyal-sinyal serupa agar supaya aku mengerti tentang kondisi yang sedang kualami ini. Semalam saja hawanya cukup panas, membuatku tidur hingga berkeringat (serius, aku lebih memilih tidur dengan terpaan 100 kipas angin, tapi aku tahu teman-temanku tidak memiliki kemampuan tahan suhu seperti yang kumiliki. Aku menunggu tehku panas sambil menatap ke arah langit. Tidak ada segumpal awan pun yang terlihat, menandakan langit hari ini sangat bersih, dan kemungkinan tidak adanya hujan yang turun hari ini. Bagus, karena aku tidak membawa payung ataupun jas hujan, dan satu-satunya hawa dingin yang sangat tidak kusukai adalah angin kencang saat hujan.
Tentu saja aku masih peduli kalau seandainya aku akan masuk angin.
Aku duduk di samping tumpukan kayu bakar yang ada di sana sejak semalam, membuatku berpikir mungkin ini bekas tempat berkemah para mahasiswa dan semua petualang yang sampai sekarang belum ditemukan itu. Aku menerawang. Mendadak aku mendengar sebuah suara berbicara padaku.
Senang melihatmu berubah, Sam. Ternyata perkataan papa tidak sia-sia. Kamu buktinya bisa berubah.
Aku menunduk, memandangi semut yang berbaris di depan kakiku, lalu dengan ganas menginjak mereka satu per satu. Aku pernah menempatkan diriku pada semut-semut itu, maksudku bagaimana rasanya menjadi seekor semut. Melihat segala sesuatu dalam ukuran yang terlalu besar, diinjak oleh raksasa mulia yang disebut Manusia, mengangkut makanan sebelum bisa memakannya selama musim hujan, melarikan diri dari genangan air, menyelamatkan diri dari kaki Manusia-Manusia yang kesal dengan ulahnya. Mengingat pemikiran itu, aku jadi sedikit simpatik melihat semut-semut mati. Percayalah padaku, kali ini aku hanya butuh pelampiasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED : "The Runic Forest" (2013)
Adventure[ BUKU SATU ] Completed ☑ Entah bisa dikatakan sebagai sebuah kesialan atau bukan, empat remaja terperangkap di sebuah hutan yang tidak terdata di peta mana pun di dunia. Seseorang dari van di tengah hutan menceritakan sebuah kisah yang menunjukka...