Rutinitas nomor tiga yang kulakukan pagi ini sungguh membosankan dan datar: mengambil berkas yang tadi diberi Bu Agnes dan memasukannya ke dalam tas ranselku. Sesekali aku memeriksa apakah berkas-berkas itu sudah benar dan tidak ada yang hilang. Selain berkas yang berupa map-map tipis berwarna hijau lumut, aku juga mengambil sebuah senter, buku tulis, kotak pensil, kotak P3K, tali, GPS, jaket, sweater, sarung tangan, dan segelintir barang-barang membosankan lainnya. Bukannya aku ingin berjualan atau melakukan cuci gudang gratis, tapi sesuai rencana, aku akan pergi ke sebuah hutan yang kira-kira berjarak tiga kilometer dari sini untuk mencari sampel tumbuhan yang akan digunakan untuk praktikum dua minggu lagi.
Setelah puas dengan tas ranselku yang nyaris penuh, aku duduk di depan meja riasku. Kuambil sisir dan mulai menyisir rambutku yang mulai mengusut. Aku mengambil ikat rambut yang agak tebal, lalu membuat high-bun dari benda itu. Pakaian yang mendukung kegiatanku hari ini pun tak berlebihan, kurasa, kuakui bahwa aku cenderung lebih fokus dengan benda-benda yang akan kubawa. Terakhir kali aku melakukan survei, aku hampir tersesat karena lupa membawa kapur dan pita-petunjuk jalan di sekitar pohon yang seharusnya menjadi pemanduku tidak kubuat. Karenanya, hari ini aku harus bisa menebus kesalahan-kesalahanku yang membuat papa menyebutku sedikit teledor.
Setelah merasa siap, aku menyambar ranselku dan langsung turun ke bawah. Papa pastinya sedang bekerja. Nicole, adikku, sedang pergi bermain di rumah sepupunya sedangkan Michael sendiri sibuk melakukan touring dengan anggota klub motor yang ia ikuti. Dan setelah aku menyebut soal ayah dan saudara-saudaraku, aku cukup yakin kata "mama" langsung muncul di pikiran kalian, bukan begitu?
Singkatnya (karena aku tak terlalu sanggup untuk menceritakan kisah lengkapnya, dan karena aku lebih memilih untuk mengubur kenangan itu dalam-dalam demi keselamatan batinku sendiri), beliau sudah pergi saat aku berumur lima tahun dan sesuai tradisi, tiga minggu lagi aku harus kembali ke Spanyol untuk mengunjungi makam mama. Sedih? Tentu. Di saat semua orang bisa merasakan kasih sayang seorang ibu selama hampir seumur hidupnya, aku hanya sempat mencicipinya selama lima tahun. Bahkan untuk sekedar berjalan ke pintu kelas pertamaku dengan mama saja, aku tidak bisa. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun selain berpasrah dan tetap menjalani hidup. Hidup pun bukan melulu soal menangisi kenangan, bukankah itu yang sering dikatakan orang?
Kemudian, ada nenekku yang alergi terhadap panas matahari sedang beristirahat di kamarnya karena mendadak kemarin malam asmanya kumat. Percayalah, aku sangat menyayangi nenekku itu, walau beberapa hal kecil seperti membersihkan kuku kakinya cukup membuatku membatin semalaman penuh, tapi apa yang sudah dilakukan beliau selama 10 tahun terakhir sangat kuhargai. Jadi ketika papa memberitahuku bahwa nenek akan tinggal bersama kami sepanjang sisa hidupnya, aku mengangguk senang dan segera menyambut beliau dengan pelukan hangat dan semangkuk sup labu. Setelah memastikan beliau beristirahat dengan baik, aku secara resmi bebas melaksanakan kegiatan mingguanku.
Turun ke lantai bawah yang sepi tapi penuh dengan perabotan, aku mengambil tiga botol susu yang mungkin saja akan aku perlukan nanti, dan beberapa sandwich ayam yang cukup enak. Aku memasukkan semuanya ke dalam ransel dan memakan satu selama perjalanan ke hutan itu. Tentu saja aku mengandalkan kedua kakiku. Aku tidak punya sepeda, dan mobil sedang dipakai papa dan Mike pergi. Mungkin jalan kaki di pagi hari tidak buruk-buruk sekali. Lagipula aku sedang makan, jelas itu adalah pilihan terbaik. Membutuhkan waktu sekitar 45 menit sebelum akhirnya aku menginjakkan kaki di hutan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED : "The Runic Forest" (2013)
Macera[ BUKU SATU ] Completed ☑ Entah bisa dikatakan sebagai sebuah kesialan atau bukan, empat remaja terperangkap di sebuah hutan yang tidak terdata di peta mana pun di dunia. Seseorang dari van di tengah hutan menceritakan sebuah kisah yang menunjukka...