Savannah Morgan, begitulah biasa orang-orang menyebutnya. Wanita paruh baya itu tinggal di sebuah gubuk tua di tengah hutan, seorang diri saja, hanya dia dan benda-benda antik yang tersebar di seluruh gubuk kecilnya. Suaminya, Machota Gordonson, meninggal akibat terkena panah saat sedang mencari kayu bakar di hutan. Jasad suaminya diletakkan di sebuah sarkofagus yang di atasnya dihiasi oleh bunga-bunga rangkaian wanita itu sendiri.
Hidup perlu dinikmati semaksimal mungkin sebelum semua terlambat dan yang kita lihat hanyalah kegelapan, setidaknya itulah yang dipikirkan Savannah ketika menyeduh teh ekstrak bunga Daisycruise yang dia temukan, sambil menerawang memikirkan serentetan mimpi yang tidak pernah dapat dicapainya.
Ia kemudian menoleh ke tembok di dalam gubuknya. Tidak bisa dikatakan sebagai tembok, sebenarnya, karena hanya berupa batangan kayu yang dijejer sehingga menyerupai tembok. Tapi di atasnya, ada selembar perkamen usang berisi silsilah besar yang dilukis menggunakan cat merah. Wanita itu berdiri lalu mendekati gambar itu.
Ia menyentuh sebuah nama.
Patrick Ares.
Saudara-saudaranya, Anthony Ares dan Jacob Ares, dua dan tiga tahun lebih muda dari Patrick sendiri, merupakan orang-orang yang tergolong misterius bahkan bagi Savannah sendiri. Wanita itu kemudian menyentuh sebuah nama, namanya sendiri, yang dihubungkan dengan sebuah garis ke dua nama diatasnya, Jacob Ares dan Anne Morgan. Meski secara biologis, Savannah adalah sepupu dari keempat anak-anak Patrick Ares, termasuk Danny yang sudah meninggal lebih dahulu.
Rumit, tapi itulah Ares, pikirnya.
Wanita itu kemudian membalikkan badannya dan menyentuh kalung yang dia kenakan. Kalung yang sama seperti yang dikenakan Sam, anak laki-laki yang sempat dia temui saat sedang melaksanakan ritual hariannya. Kalung yang diberikan bagi para keturunan Ares. Kalung itu diberikan oleh ayah dari Dylan Travis, Frederick Travis. Sampai sekarang pun, Savannah tidak pernah tahu di mana keberadaan sepupunya itu. Di samping Ivan dan Leon yang sudah tiada, dia tidak pernah bertemu dengan Ray maupun Frederick.
Baikkah kabar mereka? Apakah masih ada kesempatanku untuk menemui mereka?
Setelah puas mengenang masa lalu, dia membiarkan kalung yang dia kenakan terjuntai begitu saja, meletakkan cangkir berisi teh Daisycruise-nya, kemudian berbalik menghadap tembok silsilah itu. Dia mencari-cari keberadaan namanya, lalu menemukan sebuah nama lagi di samping namanya. Ah, ya, tentu saja itu saudarinya, Miranda Morgan Ares. Sudah lama Savannah tidak melihat saudaranya itu. Bisa dibilang, mereka berselisih karena adanya perseteruan di masa lalu yang membuat keduanya terpisah. Savannah mengingat-ingat wajah saudaranya, yang hampir mirip dengannya, hanya saja ada seringai jahat yang jelas sekali berbeda dengan Savannah.
Hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan saudari Savannah itu.
Licik.
"Rupanya kamu masih hidup, Miranda. Aku kira kamu sudah mendekam di Neraka sana," gumam Savannah sambil menarik napas panjang.
"Tentu saja dugaanmu itu salah, saudari."
Tubuh Savannah membeku saat mendengar suara itu dan dia langsung menoleh ke belakang, ke arah suara itu. Tangannya refleks mengambil pisau yang ada di atas meja makannya, diam-diam, bersiap-siap kalau saja si pemilik suara itu mulai berulah di rumahnya, seperti yang selalu dilakukannya di masa lalu.
"Miranda."
"Savannah." Wanita yang disebut Miranda itu maju beberapa langkah mendekati Savannah dengan gerakan yang teramat pelan. "Bagaimana kabarmu, saudari? Setelah 20 tahun kita tidak bertemu, hanya berbicara lewat pikiran, bagaimana keadaanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED : "The Runic Forest" (2013)
Adventure[ BUKU SATU ] Completed ☑ Entah bisa dikatakan sebagai sebuah kesialan atau bukan, empat remaja terperangkap di sebuah hutan yang tidak terdata di peta mana pun di dunia. Seseorang dari van di tengah hutan menceritakan sebuah kisah yang menunjukka...