"Evelyn Tirta.""...."
"Evelyn."
"...."
"Pst, Ev."
"...."
Kartika menendang pelan roda kursi Evelyn. "Eve, woy. Dipanggil noh." Bisiknya dengan suara yang tidak bisa dikatakan bisikan. Kepala wanita itu mengarahkan Evelyn pada pintu besar yang terbuat dari kaca.
Ruang Bos.
Shit.
Evelyn mengumpat seketika.
Dia ketahuan melamun lagi. Agil tidak akan membiarkannya kali ini. Sudah puluhan kali--mungkin, dia ketahuan melamun di saat jam kerja. Bahkan pernah sekali dia melamun saat rapat berlangsung, Bos Besar--papanya Agil, sampai melemparinya dengan tutup pulpen.
Saat itu Eve hanya berharap bertemu doraemon, meminta pintu kemana saja agar dia bisa melarikan diri kemana pun. Tutup pulpen bertemu jidat tidak sakit sih, tapi malunya itu loh.
Bergegas Eve bangkit memenuhi panggilan Agil. Mengabaikan suit-suitan dari Mas Bagas dan Kang Daniel yang menggodanya. Jangan tertawa. Namanya memang Daniel. Padahal wajahnya nggak mirip sama Kang Daniel-nya Wanna One. Eve bukannya tidak tahu kenapa dia harus memanggil Daniel dengan embel-embel "kang", tapi karena semua teman kerjanya memanggil pria itu begitu jadi yasudahlah.
"Dijamin deh, Eve besok pakai turtleneck."
Itu suara Bagas. Daniel yang duduk tepat di depan kubikelnya dan Kartika menyahut santai. "Masih enam jam lagi kelar kantor. Lihat Eve dipanggil Pak Agil gue tiba-tiba kangen dikelonin istri." Dan kedua pria itu terkikik-kikik.
Dasar pria dan pemikirannya. Sudah punya istri dan anak tapi masih saja hobi menggoda gadis perawan.
Resiko menjalin hubungan satu kantor ya beginilah. Apalagi sama atasan sendiri. Mau sembunyi pun tidak bisa. Ada mata dan mulut dimana-mana. Untung di kantor nya ini nggak ada larangan menjalin hubungan sesama teman kerja. Kalau nggak, Eve juga mana mau jalan sama Agil. Bagi Eve, perkerjaan adalah nomor satu dihidupnya. Dia mencintai pekerjaannya.
Mengehembuskan napas lewat mulut, Eve mendorong pintu kaca didepannya. Agil sudah kembali masuk saat kartika memberitahunya. Eve melihat pria itu sedang berdiri membelakanginya dengan handphone di telinga, berbicara dengan seseorang.
"Sorry nggak bisa menjemput. Pak Mardi mungkin sudah sampai. Aku nggak bisa karena lagi hectic."
Evelyn mengamati interior ruangan yang di dominasi warna silver. Bibir Eve refleks mengerucut. Eve juga suka warna abu-abu. Alasannya simpel, karena hidupnya yang abu-abu. Nggak ada alasan lain. Sederhana. Sesederhana hidupnya. Lagi-lagi hidupnya. Sampai saat ini Eve belum tahu tujuannya hidup, selain untuk bekerja sebagai Editor di Addvos Publishing.
"Iya Mas, aku usahain biar cepat kelar. See you at dinner."
Mata Eve kembali menjelajah. Kali ini bukan pada ruangan ataupun benda mati, tapi pada punggung yang sedang membelakanginya. Dari belakang saja udah kelihatan kalau orang ini ganteng. Punggungnya senderable banget. Eve belum pernah sih nyandar disana, tapi Eve juga nggak yakin bakal nyaman nggak pas dia gelendotan di punggung itu. Eve hanya belum yakin pada pria ini.
Salah.
Lebih tepatnya Eve yang belum yakin pada dirinya sendiri. Entah sampai kapan. Eve hanya sedang mencoba. Dan semoga ini berhasil.
"Melamun lagi ternyata."
Dia cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya. Nggak lucu kan dipanggil melamun, udah ketemu juga masih melamun. Dia ini kenapa sih.
"Maaf Pak, tadi saya dipanggil. Ada apa ya?" Tanya Evelyn buru-buru sebelum dia diinterogasi perihal melamun. Eve melihat Agil meletakan handphone nya di atas meja lalu bergerak mendekatinya. Tidak terlalu dekat sih, karena Agil masih nyandar di meja kerja dan Eve berdiri di depannya.
"Mas Gerald baru balik dari Aussie." Ucap Agil. "Mama ngajak kamu makan malam."
Eve sontak meringis mendengarnya.
Makan malam di rumah Pak Agil?
Dia sudah pernah bertemu mamanya Agil, orangnya ramah banget. Dia juga pernah bertamu ke rumah Agil. Hanya saja untuk makan malam, Eve belum pernah sama sekali. Eve hanya merasa sungkan. Apalagi ini makan malam. Sudah pasti Bos Besar ada disana. Eve masih merasa malu bertemu Bos Besar.
"Aku mau kenalin kamu sama Mas aku." Ujar Agil lagi.
Eve yang mendengar hal itu mengarahkan matanya pada wajah Agil. Duh... gimana mau nolak? Mata Agil kalau lagi memohon tuh kayak mata anjing tetangga. Minta dikasihani.
"Saya nggak bisa nolak kan Pak?" Tanya Eve pasrah.
Agil tersenyum. "Nanti aku minta Pak Mardi jemput."
Eve langsung menggeleng. "Nggak usah Pak. Saya pesan ojek aja."
Tapi melihat Agil yang bergeming, Eve tahu keputusannya sia-sia. "Saya... lagi-lagi nggak bisa nolak ya Pak?"
Agil tertawa. Senang banget kayaknya. "Saya lihat kamu tadi. Ada apa?" Pria itu sudah bersedekap, mengamatinya.
Lagi-lagi Eve hanya bisa meringis. Dia sudah menduga tadi. Agil akan menanyakannya, lebih parah menegurnya. "Sebelum ketemu Bapak juga saya orangnya begitu Pak. Suka melamun." Terangnya.
"Suka?"
"Ya?"
"Melamun. Kamu suka?"
Eve menundukan wajahnya. "Sering maksud saya." Dia melihat Agil hanya mengangguk-angguk. "Bapak nggak marah?"
Agil gantian mengerutkan kening. "Marah? Buat apa?"
"Bapak bilang bapak nggak suka diabaikan. Bapak juga bilang bapak kesal kalau orang nggak mendengarkan selagi bapak berbicara."
Tak diduga Agil justru tertawa. "Ternyata kamu belum paham maksud saya berkata seperti itu."
Eve diam saja. Bingung bagaimana merespon. Agil lalu beralih melirik arloji di tangan. "Now time for lunch. Kamu akan makan bersama Tika?" Pria itu sudah berdiri.
"Sepertinya." Jawab Eve segera.
"Kalau kamu bosan makanan yang sama. Saya bisa pesankan kamu sesuatu." Tawar Agil. Yang di sambut Eve dengan gelengan tegas.
"Saya bukan pemilih dan sebaiknya saya undur diri karena semenit saja bertambah saya yakin gosip orang diluar sana akan berbeda." Eve berbalik membuka pintu dibelakangnya.
"Jangan lupa makan Evelyn." Peringat Agil sebelum dia menutup pintu.
Ragil Anggara.
Eve menyebut nama itu dalam hatinya. Kosong. Tidak ada efek apapun. Dia rasanya ingin menangis. Sampai kapan ini harus terjadi padanya?
Agil adalah pria yang baik, Eve hanya tidak ingin menyakiti pria itu. Apalagi mengingat kebaikan mamanya Agil, Ibu Mefa. Belum lagi Pak Bos Besar, pria tua itu memang tegas dan bijaksana, sehingga Eve kadang merasa segan, namun diluar itu semua Eve tahu dia diterima dengan baik sebagai kekasih anaknya. Eve hanya perlu berusaha lebih keras lagi menumbuhkan rasa agar nantinya dia tidak mengecewakan orang-orang itu. Termasuk saudara Agil yang katanya baru balik dari Aussie. Semoga orang itu juga bisa menerimanya dengan baik.
Ya, semoga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
EAGER
Random#14 - chicklit 12/09/2022 EAGER : INGIN SEKALI; BERHASRAT; Evelyn bukan mati rasa. Dia tahu apa arti tertarik pada lawan jenis. Tapi selama hidupnya, Eve belum pernah merasakan efek "kupu-kupu berterbangan dalam perut" seperti kata kebanyakan orang...